Dua belas🍁

196 31 1
                                    

"Hadirnya Wildan mengubah suasana."


12. Kehidupan baru Wildan

****
Ruangan ini, pemandangan ini menjadi kehidupan baru untuk Wildan. Entah bagaimana ceritanya Wildan bisa masuk ke tengah-tengah keluarga yang begitu baik padanya. Ya ... walau ada yang julid. Itu tuh ... si Abang tatapannya itu selalu saja sinis, tetapi sinis sama Wildan tuh bukan menandakan kebencian tetapi rasa yang tidak pernah terduga.

Hari ini, Wildan diberikan sebuah kabar yang membuat hatinya menghangat. Wildan di ajak tinggal bersama dengan orang tadi. Sedikit perkenalan, didalam rumah itu terdapat anggota keluarga yang jumlahnya hanya tiga. Ditambah Wildan menjadi empat.

Ghifari, anak satu-satunya dalam keluarga tersebut. Kini, Wildan dihadapkan dengan sosok yang berhasil membuatnya rindu terhadap sang Abang kandung. Yaitu Dinar, pancaran senyum juga tawanya begitu menghiasi lembar baru dari kehidupan Wildan. Jika orang tuanya bisa bahagia, kenapa ia tidak?

"Makan yang banyak, biar cepat gede." suara lembut yang hampir Wildan tidak pernah mendengarnya lagi. Kini suara itu kembali terdengar, walau bukan sang Ibu kandung yang berbicara.

"Cepet gede itu bukan karena makan, mau makan segentong pun enggak ada konsepnya anak SMP langsung masuk SMA." kini suara Ghifari yang ikut menyahut.

Jika ditanya dimana Ayah Ghifari? Ohh dia laki-laki yang gila kerja. Jadi berangkat pagi pulang pagi. Namun ... walau begitu, sang Ayah sering menyempatkan waktu untuk sekedar lebih dekat dengan keluarga. Memang cocok sih silsilah keluarga mereka tuh, kalau gini caranya enggak bakal ada yang namanya pertengkaran. Asal harus bisa berperan baik saja dalam rumah tangga.

Yang terpenting hati yang ikhlas, jangan terus mengikuti langkah ego. Karena ego itu menyesatkan, yang tentu akan berakhir buruk.

"Suka-suka Mamah mau bilang apa," ucapnya yang mendapatkan tatapan lucu dari Wildan. Baru kali ini Wildan melihat interaksi antar Anak dan Ibu yang seperti teman sendiri.

"A'a, nanti kamu antar Wildan ke toko baju ya. Sebentar lagi 'kan anak SMP mau mpls," ujarnya mengusap lembut surai rambut Wildan.

"Mamah, ikut?"

"Enggak. Mamah ada arisan, jadi ... tolong kamu beli baju sama peralatan lengkapnya ya. Awas aja kalau ada yang kurang, uang jajan kamu Mamah enggak jadi naikin." baru saja Ghifari ingin protes, namun terjeda oleh sang Mamah yang memasukan sepotong sosis kedalam mulutnya.

Wildan hanya tertawa kecil melihat keduanya. Tawa Wildan begitu menyentuh hati keduanya. Apalagi Ibunya Ghifari yang sama-sama seorang Ibu, ia bisa melihat dengan jelas bahwa Wildan sudah sering sekali mendapatkan luka hati. Dengan tawanya yang keluar, Wildan seakan mulai melepas beban secara perlahan.

Ghifari sendiri sedikit senang dengan kehadiran Wildan didalam keluarganya. Mungkin ia tidak lagi kesepian nanti, walau ... terkadang Wildan selalu saja jujur. Tidak pernah bisa diajak kompromi. Dia polos, membuat Ghifari ingin sekali mencubit ginjalnya.

Mungkin, hadirnya Wildan menjadi lingkungan baru untuk Ghifari. Dulu ... Ghifari meminta seorang Adik. Namun sang Ibu tidak bisa mengabulkannya dengan berbagai alasan. Mungkin ya Ibunya Ghifari memang ada alasan tertentu.

Hadirnya Wildan mengubah suasana dalam keluarga Ghifari. Yang tadinya tidak ada kerusuhan, kini selalu terdengar. Yang tadinya tidak ada tawa. Kini selalu saja terdengar tawa renyah dari Wildan. Semoga ini langkah awal Wildan untuk meraih kebahagiaan.

****
"A'a." Wildan menoel-noel tangan Ghifari yang anak itu sendiri tengah sibuk bermain game online.

Masih diam. Seakan pendengarnya tuli, padahal Ghifari memang mendengarnya. Hanya saja jika ia menoleh dan meladeni Wildan walau sedetik saja. Maka nyawa Ghifari dalam bahaya, eh ralat. Maksudnya game yang ada di layar android itu bisa mati. Isdet deh ... terus tamat. Nanti tabok paha Wildan gara-gara gamenya.

"Ish! A'a." kali ini Wildan berteriak benar-benar didekat telinga Ghifari, sampai-sampai anak itu loncat dan ya ... hp iPhone yang berlogo apel kegigit itu terjatuh tidak estetik.

"Tuhkan jatoh!" teriak Ghifari frustasi.

"Iya enggak papa A'a. Kan ke bawah enggak ke atas juga," celetuk Wildan masih bisa dihadapi dengan sabar oleh Ghifari.

Mereka tengah didalam mobil menuju tempat dimana Wildan akan diperkenalkan dengan seragam baru. Seragam putih biru, dan alat-alat lainnya yang Wildan butuhkan nanti. Wildan bosan, dan tidak tahu harus bagaimana cara menghilangkan kegabutannya itu. Dan akhirnya begitulah ... dia mengganggu Ghifari yang tengah bermain game itu.

"Lagian A'a main apaan sih, pokus banget. Game nya seru ya?" tanya Wildan polos.

"Ho'oh. Main ini tuh ibarat kita nih lagi di hutan terus kita di kejar-kejar sama si tutul," ucap Ghifari, membuat Wildan merinding sendiri. Sedangkan Ghifari? Ya dia tertawa dalam hati, seakan puas menjahili Wildan yang notabenya anak polos.

"Serius A'a?" tanya Wildan mendapat anggukan mantap dari Ghifari.

Baiklah, Wildan diam. Tidak ingin menganggu Ghifari lagi. Menunggu lima belas menit diperjalanan akhirnya mereka sampai ditempat tujuan, belum juga Ghifari masuk. Baru pegang gagang pintu ya ... eh tiba-tiba si Wildan teriak kencang banget sampai lari-lari menuju seberang jalan. Ghifari panik dong! Masalahnya itu di jalan banyak kendaraan, gimana kalau tiba-tiba tubuh Wildan terbanting terus enggak ada darah yang keluar tapi pas masuk rumah sakit katanya koma. Lah? Kan itu enggak elit banget.

"WOY BOCAH!"

"Ahhhh!! A'a mau itu." Wildan menunjuk anak ayam yang berwarna-warni itu. Tau lah bentukannya gimana.

Huff. Ghifari menepuk jidatnya kasar. Wildan hanya berteriak cuman karena anak ayam? Astaga. Enggak bakal bertahan satu bulan juga itu anak ayam. Nanti tiga hari juga udah sisa raganya aja palingan.

"Gusti nu agung."

***

Aa' The Best  (Bukan BxB!)✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang