"Orang bilang, rumah itu tempat terbaik. Namun, sebaliknya untuk Wildan."
Part 2. Mimpi
***
"Sayang, aku ngantuk."
"Jangan tidur dulu dong. Aku, 'kan pengen di temenin sama kamu."
"Iiih ... kamu mah."
Wildan sedang berada di meja makan. Anak laki-laki itu menyantap mie goreng buatannya sendiri. Sebenarnya sedari tadi dia tidak bisa fokus makan mie. Karena kedua mata Wildan terus menatap kelakuan Ayahnya di ruang tamu.
Ayah Wildan memeluk tubuh seorang wanita, wanita yang dipeluk Ayah Wildan terlihat sangat manja. Wildan bisa saja bersikap biasa saja dan tidak peduli jika itu Ibunya.
Masalahnya, wanita itu bukanlah Ibunya. Melainkan, selingkuhan Ayahnya. Wanita jahat yang sudah membuat keluarganya hancur.
Wildan memalingkan pandangan, ketika adegan yang Ayah dan selingkuhannya lakukan sangat tidak pantas dilihat anak dibawah umur seperti Wildan.
"Wildan!"
Suara panggilan dari lantai dua, membuat kepala Wildan mendongak. Suara itu bukanlah dari abangnya, tetapi dari Ibunya.
Wildan sangat geram. Padahal, di rumah banyak orang. Bahkan, Ibunya saja ada di rumah. Namun, lihat saja perlakuan Ayahnya. Dia berani-berani saja membawa wanita berpakaian minim ke dalam rumah.
Seakan tidak takut dimarahi sang Ibu.
"Iya, Bu!" Wildan menyahut panggilan Ibunya dengan teriakan. Teriakan yang membuat aktifitas Ayah dan selingkuhannya terganggu.
"Wildan! Bisa tidak kamu jangan teriak? Mengganggu saja!" seru Ayahnya.
Wildan hanya mengangguk seraya tersenyum kikuk. Dia akan menjawab apa? Anak sepuluh tahun mana bisa membantah ucapan sang Ayah. Wildan terlalu penakut. Tidak ingin berlama-lama melihat kegiatan Ayahnya, Wildan segera menaiki tangga untuk menuju ke kamar Ibunya.
Di lantai dua ada dua kamar, kamar Kakak dan kamar orangtuanya. Sedangkan di lantai satu ada tiga kamar, satu kamar milik Wildan, dan dua kamar tamu.
Kamar tamu sering digunakan tidur oleh selingkuhan Ayah Wildan. Hal yang membuat Wildan tidak nyaman tidur di kamar lantai bawah, suara berisik dari kamar tamu saat tengah malam akan membuat tidur nyenyaknya terganganggu. Wildan sangat berharap, orangtuanya membuatkan Wildan tempat tidur di lantai dua. Agar nanti, tidur nyenyak Wildan tidak terganggu.
"Kenapa, Bu?" tanya Wildan setelah sampai di kamar Ibunya.
Anjani--Ibu dari Wildan menatap kesal Wildan. Sudah lama dia menunggu putra keduanya datang. "Lama!"
Wildan menundukkan kepalanya. "Maaf, Bu. Eum, kenapa Ibu panggil Wildan?"
Anjani melempar plastik hitam ke arah Wildan. Wildan yang melihat itu sontak terkejut. Kedua tangannya refleks menangkap plastik yang dilempar Ibunya.
"Ini apa, Bu? Kok berat." Tangan Wildan membuka perlahan plastik yang baru saja dia tangkap. Alangkah kagetnya ketika Wildan melihat buah apel dengan jumlah yang cukup banyak.
"Buatkan jus! Wajib pakai es!" seru Anjani. Tadinya Anjani tengah bersantai di kamar ... menikmati waktu tanpa suami sambi menscrool layar ponsel. Sebuah ide tiba-tiba melintas di otak Anjani, wanita itu ingin menikmati jus apel di masa bersantainya. Kebetulan tadi pagi sepulang bekerja dia membeli apel.
Wildan melirik ke arah balkon kamar Ibunya. Langit sudah berwarna hitam, sangat tidak baik jika meminum es di malam hari. "Tapi minum es di malam hari gak baik, Bu," sahut Wildan memberi nasehat. Guru IPA Wildan pernah memberitahukan bahwa tidak baik minum es di malam hari, karena hal itu akan menimbulkan sakit di kemudian hari.
Anjani terkekeh. Wanita cantik sepertinya di nasehati oleh putranya sendiri? Sangat memalukan!
"Banyak omong! Kaki kamu Ibu cincang." Wildan tidak lagi berbicara, membayangkan saja sudah bergeridik ngeri. Yang ia tahu dari kata cincang itu berarti dipotong-potong. Memotong buah saja masih sering terluka, apalagi jika kakinya yang dipotong.
Mau tidak mau, Wildan kembali ke lantai bawah menuju dapur untuk membuatkan jus sesuai perintah dari Anjani, sang Ibu. Wildan melewati kedua orang yang masih bermain mesra-mesraan yang tidak pantas ditonton oleh anak di bawah umur.
Tangan kecilnya merangkak mengambil benda lancip itu, tajam? Tentu saja. Buah yang berwarna merah itu pertama ia kupas, butuh waktu lama untuk anak seusia Wildan mengupas kulit buah apel. Terkadang, orang yang sudah dewasa saja masih sering melakukan kesalahan. Dalamnya ikut ke potong-lah, tangannya ikut ke iris dan berbagai macam lainnya.
"Ibu!"
Wildan terperanjat kaget ketika ujung tangan telunjuknya sedikit terluka, pisau yang ia pegang pun lantas jatuh menimbulkan suara yang lumayan nyaring. Sensasi perih Wildan rasakan, ia benar-benar tidak bisa dan tidak paham dengan prosedur yang ia lakukan.
"Anjani! Kau ini tidak bisa 'kah urusi anakmu ini. Ganggu saja," cibir Ayah Wildan, mencekal pergelangan tangan Wildan dengan kuat sambil sesekali berteriak.
"ANJANI!"
Yang dipanggil masih dengan posisi terbaring diatas sofa dengan tumpuan kepala oleh bantal. Anjani, wanita cantik itu bergerutu kesal dengan menghentak-hentakan kakinya ke atas lantai.
"Apa sih Mas." Anjani menghentikan langkahnya di ujung tangga ketika melihat sang suami tengah bermesraan dengan wanita lain.
Matanya memanas, kedua tangannya terkepal kuat. Bukan, bukan karena melihat wanita lain tengah menempel pada suaminya. Hanya saja, suaminya itu mengganggu istirahatnya.
Entah mereka bisa dikatakan keluarga atau bukan. Mereka sama-sama masih berhubungan, tetapi ... lihatlah mereka, bagimana cara berperan sebagai seorang Ibu dan seorang Ayah dalam keluarga.
Lupa dengan kehadiran seorang gen, atau keturunan. Sibuk dengan urusan masing-masing, kehidupan masing-masing tanpa tahu bagaimana sang buah hati yang menjadi saksi bisu atas perbuatan mereka, tanpa mereka sendiri sadari.
"Oh, enak ya! Kamu seenak jidat panggil aku yang lagi istirahat, sedangkan kamu malah enak-enakan santai dengan bajin*an itu!"
Oh shit! Lihatlah, mereka malah bertengkar tanpa tahu keadaan Wildan anak itu sekarang. Anak itu tengah memeluk lutut di depan meja dapur. Luka yang tercipta pun lantas langsung mengering ketika Wildan mendengar pertengkaran yang benar-benar membuatnya takut.
Tidak ada yang memeluk, menenangkan bahkan tidak ada yang bilang bahwa semua akan baik-baik saja. Wildan, anak itu memendam luka sendiri, menahan sesak sendiri. Tidak ada yang merengkuhnya, tidak ada yang memberikannya ketenangan.
Malam itu juga, petir menggelegar kuat sampai terdengar gertakan kaca. Suasana seperti inilah yang tidak Wildan suka, derasnya hujan semakin menambah suasana sengit dalam rumahnya. Orang bilang, rumah itu tempat terbaik. Namun, sebaliknya untuk Wildan.
Mungkin dulu ia pernah merasakan, tetapi sekarang sudah tidak lagi. Apakah masih pantas dan masih bisa, seorang Wildan mendapatkan kembali apa yang ia ingin raih.
"Ayah, Ibu ... sudah hentikan. Wildan takut," racaunya dengan nada yang semakin bergetar. Rasanya Wildan sendiri, ia tidak merasakan ada orang-orang yang mengelilinginya. Wildan punya mimpi, mimpinya sederhana.
'Main sama Ayah, Ibu dan Abang.'
Sederhana bukan? Bahkan semua anak bisa melakukan itu dengan mudah. Tetapi bagi Wildan semua itu sulit, bahkan ada rasa tidak mungkin di hatinya. Entah kebahagiaan yang akan datang diawal, atau kematian yang akan lebih dulu datang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Aa' The Best (Bukan BxB!)✔
Ficção Adolescente🙏Ini bukanlah cerita gay, ini cerita murni kakak ber-adik. [Lengkap✔] Wildan anak yang tak diinginkan, dia juga korban perceraian orangtuanya. Wildan selalu diusir oleh Ayah dan Ibunya yang sudah memiliki keluarga sendiri-sendiri. Sampai pada akhi...