"Sekarang Wildan benar-benar sendiri.Ralat, dengan Ayahnya yang tidak pernah peduli pada Wildan."
7. Pertengkaran
***
Percaya? Semua akan baik-baik saja jika kita tidak menentang takdir. Cukup nikmati dan jalankan saja skenario yang telah tuhan berikan. Kebahagiaan akan datang pada saatnya. Entah itu diawal, ataupun diakhir.Kini, Wildan masih dengan cengiran yang terus menghiasi wajahnya. Hari ini tubuhnya sudah lebih baik, bahkan tadi sudah bisa mandi seperti biasa. Namun ya ... Wildan masih membutuhkan yang namanya rebahan.
Setelah insiden Dinar kepergok Wildan tidur bareng, anak itu kini terasa sangat senang. Bahkan ia berpikir, kenapa sakitnya enggak lama aja, 'kan biar Abang bisa terus perhatian. Wildan menepis pikiran konyol itu. Mana mungkin Dinar akan terus-terusan mengurusi orang sakit.
'Prang.'
'Brak!.'
'Bruk!'
Samar-samar anak itu mendengar suara-suara dari bawah. Karena Wildan mempunyai sifat yang begitu penasaran, jika rasa penasarannya ditahan, Wildan tidak akan sanggup. Selalu saja penasaran dan ingin tahu.
Wildan berhenti di ujung tangga, melihat kedua insang tersebut saling adu mulut. Mengaitkan nama dirinya juga sang Kakak. Apakah mereka salah? Wildan masih belum paham dan mengerti, akhirnya ia diam. Mendengarkan setiap logat kata yang keluar dari masing-masing mulut kedua orang tersebut.
Tidak berada jauh dari Wildan, Dinar pun ikut mendengarkan pertengkaran kedua orang tuanya. Melihat Wildan hanya diam, hati Dinar menjadi tersentuh. Pikirnya mungkin Wildan tidak paham apa yang akan terjadi setelah pertengkaran itu selesai.
"Kalau marah ya marah aja, enggak usah banting-banting barang! Ini dibeli pake uang ya bukan pake daun!"
Suara sang Ayah terdengar mengerikan dengan volume tinggi. Wildan yang mendengarkannya saja tersentak, apalagi sang Ibu yang ikut peran dalam pertengkaran tersebut.
"Enggak usah cari topik lain! Sekarang tentuin. Kamu mau bawa Wildan atau Dinar."
Wildan mengedipkan mata beberapa kali, apa ini? Kenapa sekarang hatinya tidak karuan. Seakan takut dengan jawaban sang Ayah nanti, ia hanya tahu bahwa kedua orang itu tengah bertengkar dan Wildan sampai tidak berpikir jauh bahwa kedua orangtuanya sampai saling memutuskan hubungan.
"Oh, yaudah. Aku bawa Dinar, dan kamu! Kamu urus Wildan." Setelah mengatakan hal demikian, Anjani lantas langsung berjalan melewati Wildan dan menarik tangan Dinar.
Wildan menatap Ayahnya yang hanya diam. Lalu segera menyusul sang Ibu yang membawa Kakaknya tadi. Dapat dilihat oleh kedua mata Wildan, Dinar hanya duduk tanpa eskpresi. Sedangkan Anjani sang Ibu tengah sibuk memasukkan beberapa baju ke dalam koper.
Wildan dengan polosnya masuk dan bertanya, membuat Anjani semakin ingin mencabik-cabik wajah Wildan. Pertengkaran dengan sang suami tadi sudah cukup membuatnya emosi, kini ditambah Wildan yang terus-terusan bertanya.
"Ibu sama Abang mau kemana? Wildan juga ikut, 'kan." Anak itu berkata dengan polosnya, membuat tangan Dinar terkepal kuat menahan segala luka.
"Ibu." Tak kunjung menjawab, Wildan semakin mendekati Anjani yang hampir selesai membereskan baju-baju tersebut.
"Abang ...."
Dinar memalingkan wajahnya kesamping, sudah tidak tahan memandang wajah polos Wildan. Hampir saja air matanya jatuh, namun Dinar masih bisa mempertahankan itu. Anjani menutup koper tersebut dengan tidak epiknya lalu menarik tangan Dinar untuk segera keluar.
"Ibu, Abang, tunggu! Wildan juga ikut, 'kan?"
"Wildan belum beres-beres, Bu. Tungguin Wildan ya," ujarnya yang terus membuntuti Anjani juga Dinar.
Wildan sudah tertinggal jauh oleh mobil yang membawa Ibu dan Kakaknya. Air matanya sudah tidak bisa lagi ia tahan, perpisahan macam apa ini? Bahkan ketika Wildan bertanya, tidak ada yang menjawab. Mereka seolah bisu dan tidak melihat keberadaan Wildan.
"Wildan enggak ikut." Wildan, anak itu tertunduk dalam-dalam sambil sesekali menggeleng.
"Cih, dasar matre!" Rizal--Ayah Wildan berdecih memandang kepergian Istrinya. Pertengkaran tadi berawal dari Anjani yang meminta cerai, karena wanita itu ingin menikahi pria yang lebih kaya dari dirinya. Rizal yang merasa terhina sangat kesal dengan Anjani.
Wildan melirik takut ke arah Ayahnya. Dengan tangan gemetar, Wildan berjalan menghampiri sang Ayah. Wildan ingin menanyai sesuatu, tentu saja tentang kepergian Ibu dan Dinar.
"Ayah, kenapa mereka pergi?" tanya Wildan dengan pandangan sayu.
Rizal mengibas-ngibaskan tangannya menyuruh Wildan pergi. "Tidak perlu banyak tanya, Ibumu itu matre! Pergi ke kamar dan jangan ganggu Saya!"
Selalu seperti itu. Bertanya dengan baik-baik, justru bentakan yang Wildan dapatkan. Tidak ada pilihan lain, Wildan berjalan gontai menuju kamar yang terletak di lantai bawah. Kepalanya sempat menoleh sebentar ke arah Ayahnya. Wildan lihat, Ayahnya tengah menghubungi seseorang. Wildan tidak peduli dengan itu, yang tengah Wildan pikirkan; bagaimana caranya Wildan agar bisa bertahan hidup tanpa Ibu dan Kakaknya? Sekarang Wildan benar-benar sendiri.
Ralat, dengan Ayahnya yang tidak pernah peduli pada Wildan.
****
Wildan berusaha memejamkan matanya dan segera tidur. Namun berbagai macam suara dari kamar tamu membuat Wildan tidak dapat tidur dengan nyenyak.
Kerongkongan Wildan juga kering, dari perginya sang Ibu dan Dinar sampai sekarang Wildan belum meneguk air lagi. Wildan memutuskan keluar kamar untuk mengambil air.
"Aku sayang banget sama kamu."
"Iya Sayang, secepatnya nanti kita menikah yah ...."
"Mas ...."
Suara-suara itu membuat Wildan ingin mual dan berteriak saja jika Wildan benci dengan keadaan ini. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam lebih, dan kamar tamu yang berada tepat di samping kamar Wildan sangat mengganggu tidurnya.
Wildan mengetuk-ngetuk pintu kamar tamu, sambil menggenggam botol berisikan air yang baru saja dia ambil di kulkas. Tidak lama kemudian, Rizal keluar membukakan pintu dengan pakaian acak-acakan.
Rizal menatap Wildan tajam. Wildan sudah berani mengganggu malam indahnya. "Apa yang kamu lakukan di sini?!" teriak Rizal.
Wildan terkejut, lalu menormalkan kembali rautnya. "Wildan cuma pengen bilang kalau ini sudah tengah malam."
"Wildan mau tidur, Yah. Kamar tamu sangat berisik," sambung Wildan. Pipi bagian dalam sudah Wildan gigit. Memandang Ayahnya yang tengah menatap tajam sangat membuat Wildan gugup.
"Keluar dari rumah ini! Jangan masuk sebelum Saya suruh!"
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Aa' The Best (Bukan BxB!)✔
Teen Fiction🙏Ini bukanlah cerita gay, ini cerita murni kakak ber-adik. [Lengkap✔] Wildan anak yang tak diinginkan, dia juga korban perceraian orangtuanya. Wildan selalu diusir oleh Ayah dan Ibunya yang sudah memiliki keluarga sendiri-sendiri. Sampai pada akhi...