Sembilan Belas🍁

185 27 0
                                    

"Tuhan, izinkan diri ini untuk egois. Ibarat daun yang telah robek. Sama halnya seperti dia, yang masih belum siap untuk kembali tersakiti."





19. Curhatan hati Wildan.

***
Wildan masih merenung, setelah ia bertemu dengan Dinar tadi entah rasa apa yang akan Wildan pilih. Sedangkan Ghifari bingung harus memulai dari mana, ia jadi ingin tahu semua masalah Wildan secara detail.

Ia akan menanyakannya nanti setelah sampai di rumah. Selembut mungkin, sepelan mungkin Ghifari memulai pembicaraannya. Ia takut, pihak dari Wildan akan kembali terenyah.
Ghifari membelah kota Jakarta yang padat oleh beberapa kendaraan, salah satu dari mereka tidak ada yang memulai pembicaraan.

"Mah! Anak-anak kasep mu ini kambek!" teriak Ghifari yang sudah di ambang pintu.

"Berisik, malu di denger tetangga." Melani menghampiri Ghifari yang sudah menjinjing tiga kresek hitam, sisanya Wildan yang membawa.

"Mah ini, Wildan duluan ya. Bay." Melani mematung dengan perubahan Wildan, kenapa nih? Kedua mata elang milik Melani menatap sinis pada Ghifari.

"Enggak Mah, sumpah. Bukan ... mending susulin yuk, Aa ada cerita." Ghifari menarik tangan Melani, sebelumnya mereka menyimpan barang belanjaannya terlebih dahulu.

Wildan menatap langit-langit kamarnya, rasanya aneh. Ia takut ... sebentar lagi tidak akan bisa melihat sekeliling kamar ini lagi, ia takut ini akan jadi yang terakhir. Jujur, Wildan masih ingin merasakan bahagia ditengah-tengah keluarga Ghifari. Walau ia sadar diri, kehadirannya hanyalah dapat belas kasihan dari Melani. Ya, Wildan berpikirnya seperti itu.

Pintu kamar Wildan diketuk beberapa kali, namun anak itu masih enggan untuk membuka pintu. Wildan ingin sendiri, ia masih ingin mengubur kembali dalam-dalam masalahnya. Karena memang Wildan tidak mengunci pintu, Melani dan Dinar pun langsung saja masuk, duduk di samping Wildan. Membuat posisi Wildan berada ditengah.

"Wildan, kenapa. Hm?"

"Enggak papa." Wildan benar-benar tidak bisa membagi masalah hidupnya kepada siapapun. Ia masih belum siap untuk bercerita, Wildan masih ingin memendam lukanya sendiri.

"Em ... Mah," panggil Wildan. Sontak Melani langsung menatap wajah Wildan serius.

"Jujur sama Wildan, Wildan ngerepotin kalian enggak? Kalau iya. Wildan bisa pergi," ujarnya benar-benar bernada serius. Kenapa jadi mellow seperti ini.

Melani dan Ghifari saling tatap. Kenapa anak ini bicaranya semakin ngelantur. "Siapa yang bilang Wildan ngerepotin?"

"Enggak ada. Wildan boleh egois dikit enggak sih? Enggak semua orang dengan mudah memaafkan kesalahan orang lain bukan?"

Melani dan Ghifari semakin kewalahan menjawab pertanyaan dari Wildan. Ini pertama kalinya Wildan berterus terang kepada mereka, bahkan yang terbilang orang baru. Peran baru dalam kehidupan Wildan.

"Wildan mau cerita, cerita sayang. Mamah sama Aa pasti dengerin kok. Enggak semua orang bisa memendam masalahnya sendiri," ujar Melani membawa Wildan dalam dekapannya.

"Wildan masih butuh Ibu, Ayah juga Abang. Pokokna Wildan masih butuh keluarga, Wildan enggak kaya Aa Ghifa yang masih bisa merasakan hangatnya keluarga, hangatnya kasih sayang Ibu, dan perhatian seorang Ayah. Wildan memang bukan yatim, maupun piatu. Wildan masih punya keluarga. Tapi ... posisi keluarga Wildan enggak kaya kalian." Wildan sudah tidak sanggup untuk sekedar melanjutkan perkataannya, jika di ingat-ingat. Ia jadi sesak sendiri dengan perlakuan keluarganya di masa lalu.

"Orang yang tadi ketemu sama Wildan, itu Abang kandung Wildan. Dia Bang Dinar," ujar Wildan menyembunyikan kepalanya di rengkuhan Melani.

Mereka mengerti, mereka paham. Tidak ingin menciptakan luka yang lebih dalam lagi, Ghifari mencoba untuk mengalihkan pembicaraan pada topik yang lain.

"Udah-udah! Kok pada mellow gini sih, ingat ya Will, kata boy band Un1ty. Kita enggak boleh mellow, mellow." Ghifari jadi membawa-bawa idolanya dalam masalah yang tengah Wildan ceritakan.

"Oh, atau mau gue nyanyiin. Nih ya dengerin, suara gue udah kaya Shandy Un1ty."

"Angkat wajahmu dan nyanyikan, na ... na ... na. No mellow, no mellow. Masa muda hany-"

Belum selesai Ghifari bernyanyi, wajah tampannya di tumpuk bantal oleh Wildan. Menurutnya suara Ghifari bisa merusak seisi rumahnya, sama sekali tidak merdu.

"Cukup A, suaranya masih jauh beda dari Aa-Aa Un1ty ya. Mereka punya suara emas, kalau Aa suara ayam kejepit."

***

Sore ini, Marco datang ke kediaman keluarga Wildan. Dengan membawa banyak aneka ciki di tas sekolahnya. Ia berniat menginap di sana, karena kamarnya sedang direnovasi. Ibunya Marco sudah menyuruh Marco untuk tidur di kamar tamu, namun bukan Marco namanya kalau tidak bandel seperti Fabian--Kakaknya. Anak itu keukeh ingin menginap di rumah Wildan.

Sesekali, anak laki-laki itu bergumam riang menyanyikan lagu dangdut di dalam mobil.

Awal mula, Marco tidak menyukai lagu dangdut. Yang membuat Marco suka yang tak lain dan tak bukan adalah Kakaknya sendiri.

"Pak, udah sampai!" Marco menepuk pundak supir pribadinya ketika rumah besar kediaman Wildan sudah terpampang jelas di matanya.

"Thanks, Pak!"

Marco berlari-lari kecil menghampiri gerbang rumah Wildan. Di sana ada Pak Umar sang penjaga gerbang.

"Den Marco? Wah, lama gak ketemu."

Marco tersenyum tipis menanggapi ucapan Pak Umar. Terakhir kali dia bertemu Pak Umar, ketika Pak Umar hendak izin pulang kampung untuk menemui anaknya yang tengah sakit.

Marco kembali melangkah kan kakinya menuju rumah Wildan.

Seorang pria berkumis tipis dan dengan keadaan wajah yang tampan itu datang menghampiri Marco, menyambut kedatangan Marco dengan tepukan pelan di kepala Marco.

'Puk, puk.'

Marco mendengus kesal, Zevan selalu melakukan itu sedari Marco balita dulu.

"Wildan ada gak, Om?" tanya Marco.

Zevan menunjuk tangga, lalu menggiring Marco untuk berjalan di anak tangga.

"Wildan di atas, dia lagi di kamar sama Ghifari dan Tantemu," jelas Zevan yang hanya dijawab anggukan dari Marco.

"Loh, Marco?"

Marco tersenyum canggung, melihat kedatangan Melani yang hendak menuruni tangga. Dia masih merasa bersalah dengan kejadian di sekolah.

"Wildan di atas tuh sendiri, kamu mau menginap? Tadi Bundamu bilang ke tante," jelas Melani.

Marco mengangguk, "hehe iya."

Dengan agak takut, Marco mendahului Zevan untuk pergi ke kamar Wildan. Marco tidak perlu bertanya di mana kamar Wildan, karena saat di sekolah Wildan sudah banyak bercerita kepadanya tentang ciri-ciri kamar Wildan. Berwarna biru, dan ada tulisan 'Wildan' di pintu kamar.

Marco tersenyum senang saat menemukan kamar Wildan.

"Wil?!"

Wildan menoleh, mendapati Marco sedang tersenyum senang di pintu kamarnya.  Wildan yang tadi duduk di ranjangnya, lantas mendekat ke arah Marco.

"Loh, kamu kok ke sini?"

"Mau, menginap!"

Wildan membulatkan matanya, "serius?!"

"Iya dong!"

Marco menghempaskan tubuhnya ke kasur empuk Wildan. Tangannya sudah aktif membuka tas, dan mengeluarkan banyak ciki dari tasnya.

"Mau gak?" tawar Marco dengan keadaan tubuh yang masih berbaring.

Wildan menggeleng. Makan ciki akan membut Wildan batuk.

"Wil, aku mau curhat nih."

***

Aa' The Best  (Bukan BxB!)✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang