Delapan🍁

189 26 0
                                    

"Dia bilang, jangan banyak mengeluh. Semakin kita banyak mengeluh, semakin bertubi juga cobaan yang akan kita hadapi.
Egois"





8. Egois

***
Wildan memandang malam yang sepi akan benda langit. Biasanya akan ada bulan dan banyaknya bintang berkedip genit kepada Wildan. Sekarang, satu bintang pun tidak terlihat oleh mata.

Bibirnya tersenyum miris, menyedihkan. Diusir dari rumah saat tengah malam dan tidak tahu kapan akan masuk ke dalam rumah.

Ayahnya memang setega itu. Jika dibandingkan dengan Ibunya, sang Ibu lebih mending dari pada Ayahnya.

Hari ini, langit mewakili perasaan Wildan yang tengah kesepian. Tidak ada lagi omelan dari Ibunya. Tidak ada lagi perhatian-perhatian kecil dari Kakaknya. Mereka sudah pergi, bahkan Wildan tidak tahu di mana mereka berada sekarang. Wildan takut, sedih, dan kecewa pada sebuah kenyataan. Rasanya susah sekali merasakan sebuah kebahagiaan.

Wildan membukan tutup botol yang masih dia pegang. Sangkin takutnya pada Rizal, Wildan tadi tidak sempat menaruh botol yang Wildan Bawa. Berakhir, botol itu ada di pelukannya.

'Gluk.'

Sebenarnya Wildan tidak terlalu haus. Dia hanya ingin mengisi kebosanan dengan kegiatan meminum. Anak laki-laki itu menyandarkan punggung di saka. Tidak terlalu buruk, justru ini lebih menenangkan dari pada di kamar.

Hanya ada suara jangkrik dan nyamuk yang sedari tadi saling bersahutan. Wildan tidak heran, keadaannya sekarang berada di luar rumah, bukan di dalam.

Wildan terus memukul-mukul lengan dan menggaruk-garuk pipinya yang sangat gatal. Nyamuk durjana, tidak tahu kah jika Wildan tak akan tahan dengan rasa gatal.

"Shh ...."

Wildan meringis, ketika garukannya yang kasar membuat lengannya sedikit terluka. Wildan sudah tidak tahan, dia ingin masuk saja ke kamar dan menyalakan obat nyamuk. Tidak peduli dengan suara-suara aneh dari kamar tamu.

Ini menyakitkan! Tadinya Wildan memang nyaman-nyaman saja. Namun setelah beberapa menit, Wildan sudah menyerah dengan ke gatalan yang semakin merajalela.

Anak itu bangkit dari duduknya, berjalan lemas menuju jendela. Wildan ingin mengintip jam, dia sudah berjanji untuk melihatnya hanya sebentar.  Berharap, hari esok segera tiba.

"Hiii  ...." Wildan memalingkan wajahnya dari jendela. Niat hati hendak mengintip jam, Wildan justru di suguhkan pemandangan tidak dianjurkan untuk anak di bawah umur.

Di sofa ruang tamu, Ayah dan selingkuhannya tengah bersilat lidah. Mata Wildan tidak ingin ternodai lagi, anak laki-laki itu kembali menuju saka untuk bersandar.

Jika ada orang lewat lalu berjumpa dengan Wildan, orang itu pasti akan mengira bahwa Wildan seorang maling. Wildan baru sadar, dia memakai baju tidur berwarna hitam, memang sangat identik dengan baju maling.

Sayangnya hal itu tidak akan terjadi. Pagar rumah Wildan sangat tertutup. Sehingga tidak akan ada tetangga yang curiga pada Wildan.

"Wildan tuh pengen kita kayak dulu. Tapi susah yah? Padahal pengen bareng-bareng doang. Egois banget aku." Wildan kembali menggaruk pipinya lalu tanpa sadar, dia tertidur.

****

Pagi datang, hal ini yang dinanti-nanti oleh Wildan sejak semalaman. Namun anak itu tak kunjung bangun, mungkin masih ingin menutup mata. Tidur dengan posisi yang tidak elit, menyebabkan sakit badan nanti setelah bangun. Duduk, bersender didekat pintu masuk dengan memeluk kedua lutut.

Seseorang berdiri dengan sepatu hak tingginya. Menatap Wildan dengan tatapan tak suka. Rupanya, sejak semalaman wanita tidak tahu diri itu menginap dirumah keluarga Wildan. Padahal, orang yang belum tentu sah tidak diperbolehkan satu atap. Apalagi sang Ayah yang belum sepenuhnya bercerai dengan sang Istri.

"Heh, bangun!" Wanita yang terlihat tua itu menendang-nendang lengan Wildan dengan kaki kanannya.

Merasa tubuhnya sedikit tergoncang, anak itu membuka mata perlahan, belum sempat mengumpulkan nyawa. Wanita berstatus selingkuhan Ayah  Wildan itu lantas menarik tangan Wildan dengan kencang. Membuat sensasi pusing mendera Wildan.

"Udah kaya gembel ya tuan rumah, hm?" Dagu Wildan dicengkram kuat oleh tangan yang kuku-kukunya panjang ditambah kutek hitam, sudah seperti ratu siluman.

"Sekarang, Saya sama suami Saya lapar. Sana ke dapur, masak! Saya setidaknya memberikan kenangan kepada kamu, sebelum kamu sepenuhnya meninggalkan rumah ini."

Apa, suami? Heh. Menikah dengan sah saja belum. Sombong sekali, begitu pikir Wildan. Dan apa yang dia bilang sepenuhnya meninggalkan rumah, maksudnya Wildan disuruh pergi gitu. Mau pergi kemana, di rumahnya saja masih disuruh tidur diluar. Apalagi jika benar-benar diusir sepenuhnya, mau makan dimana. Mandi, dan segala macam.

"Awas loh Mba, Wildan pernah lihat di sinetron. Wanita yang notabenya kayak Mba itu haus harta. Jangan-jangan Mba, suka sama Ayah saya cuman karena harta ya," celetuk Wildan dengan polosnya. Sialan, rupanya Wildan suka menonton sinetron ikan terbang.

Hampir saja tangan wanita itu menghantam kuat pipi chubby Wildan. Namun, pergerakan itu digagalkan dengan kedatangan sang Ayah yang tiba-tiba saja menyuruh Wildan memasak, sama seperti apa yang diperintahkan wanita tersebut sebelumnya.

Wildan melihat bahan dapur yang hanya ada telur dan mie. Mau masak apa? Pikirnya, tiba-tiba sebuah ide datang. Ia pernah memasak bareng dengan sang Kakak dulu, dimana saat Ibu dan Ayahnya pulang larut malam. Dan Wildan yang sudah lapar meminta makan, akhirnya Dinar Kakaknya Wildan pun memasak dengan bahan yang ada. Yaitu telur dan mie instan.

Milor, mie dan telor. Nah ... ini tidak cukup rumit juga, tentang rasa asin dan sebagainya tinggal dipakaikan bumbu bekas mie instannya saja, jika ingin pedas. Tambahkan beberapa cabai yang sudah dipotong-potong, atau mau pakai bawang juga bisa, jangan lupa tambahkan bawang daun biar tambah nikmat.

Acara memasak berlangsung sekitar lima menit. Beruntung nasi sudah siap, kini Wildan tengah menyiapkan acara sarapan pagi kali ini. No, roti no susu. Nasi itu bahan pokok orang Indonesia, tidak ada nasi tidak kenyang, haha. Jadi acara pagi ini harus pakai nasi.

Baru saja pantat Wildan mendarat dikursi, suara bariton menggantikan aksinya itu. Wildan kembali berdiri, memundurkan badannya ketika sang Ayah membawa wanita pujaan hatinya duduk dikursi yang sering Wildan tempati.

"Mau ngapain kamu?!"

"Ma-makan yah, Wildan juga laper." Tidak dapat berbohong, perutnya memang meminta untuk diisi. Tolonglah, Wildan sudah terlihat kurus. Jangan ditambah lagi. Tulang tangannya kelihatan tuh.

"Enggak ada acara makan bareng, kamu makan setelah kamu selesai. Sekarang pergi sapu halaman depan terlebih dahulu!"

Tidak ada yang bisa Wildan bantah lagi, Wildan menurut saja. Sebelum melakukan aktivitasnya, Wildan masuk ke kamarnya terlebih dahulu hanya sekedar untuk mandi dan mengganti bajunya.

Wildan berharap, Ayahnya masih menyisakan nasi juga makanannya. Karena memang dirumahnya sudah tidak tersedia stok apapun lagi. Itu harapan terakhirnya supaya cacing-cacing diperutnya berhenti untuk berdemo.

Wildan tidak berpikir banyak tentang nasibnya kedepan nanti, ia hanya mengikuti jalan yang sudah ditakdirkan untuknya. Dia bilang, jangan banyak mengeluh. Semakin kita banyak mengeluh, semakin bertubi juga cobaan yang akan kita hadapi.

****

Aa' The Best  (Bukan BxB!)✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang