Dua Puluh Satu🍁

176 23 0
                                    


"Lembar kemarin, Wildan mendapatkan hal yang begitu luar biasa."


21. Monyet

***

Desiran angin berlalu, sejuk membawa sejuta kenangan. Cakrawala biru kembali datang membuat suasana tenang, kicauan burung terdengar dimana-mana. Seperti tengah berinteraksi antara induk juga anaknya.

Hari baru, suasana baru. Semuanya baru, hidup itu ibarat buku yang tebal. Selembar buku adalah kita yang tengah menjalani setiap pahitnya kehidupan, pena adalah takdir yang akan menentukan lurus dan tidaknya takdir seseorang.

Lembar kemarin, Wildan mendapatkan hal yang begitu luar biasa. Kini, ia memulai dengan lembar yang baru, yang masih kosong. Masih bersih tanpa coretan apapun. Dan coretan itu dimulai sejak sekarang, pagi ini. 

"Kapan, Mah kapan?!

"Empat hari lagi."

Terdengar suara perbincangan antara Ghifari juga Melani dari ruang tamu. Ini masih pagi, mungkin sekitar setengah enam juga kurang. Masakan sudah tersedia dimeja makan, hanya sedang menunggu anggota keluarga lainnya keluar.

Melani juga putranya Ghifari, tengah memperbincangkan liburan yang akan digelar empat hari lagi, atau mungkin bisa saja ada perubahan jadwal nanti. Tergantung semuanya yang memang sedang ada waktu yang luang.

Wildan turun, berniat untuk mengejutkan Ghifari yang membelakanginya. Wildan memberikan isyarat agar Melani tetap diam, terlihat wanita itu terkekeh pelan sampai Ghifari tidak menyadarinya. Kedua tangan Wildan sudah siap untuk menepuk pundak Ghifari, sayangnya. Bukan Ghifari yang kaget, melainkan Wildan sendiri yang melihat wajah Ghifari menggunakan masker wajah.

Si*l! Jantungnya dangdutan kali ini, Ghifari memang begitu. Setiap pagi tidak lepas dengan masker, luluran tiap pagi kaya anak gadis. Jadi tidak salah jika wajah Ghifari putih, mulus dan bersih.

Jadi kalian mesti tahu, Ghifari ini tidak suka yang namanya pelajaran penjas. Karena apa? Ya karena itu, ia takut wajahnya yang sudah putih, mulus, unyu kaya kekeyi. Enggak bukan, maap. Harus terkena sinar matahari, kebetulan anaknya nakal, jadi selalu saja ada alasan untuk tidak mengikuti pelajaran olahraga.

"A! Pagi-pagi udah main sama tepung. Udah kaya hantu aja." Wildan duduk di sofa, tepat disamping Ghifari yang tengah mengunyah kripik.

"Heh! Scrincare mahal gini dibilang tepung, muka lo tuh bocil udah kaya baju belum disetrika. Belum mandi, udah kebawah aja." ya memang, Ghifari mengoleksi berbagai macam masker wajah begitu banyak. Sampai semua isi lacinya itu. Ya, masker.

Wildan berdecak sebal, lalu menyomot kripik yang ada pada pangkuan Ghifari. Rasa asin yang bercampur manis lalu pedas membuat siapapun enggan untuk tidak meninggalkan salah satu makanan itu.

Sambil mengunyah, Wildan jadi penasaran dengan percakapan dua orang ini tadi. "Tadi kalian ngomongin apaan?"

Sebenarnya, Melani juga Zevan itu sudah memperbincangkan ini sejak dulu. Hanya saja, mereka menunggu waktu yang pas. Katanya ini buat kenang-kenangan, sekalian ngajak Wildan bersenang-senang. Kali aja lupa sama masa lalunya, yakan.

Zevan, juga Melani masih mencari-cari tempat yang cocok untuk mereka berlibur nanti. Yang ada adem-ademnya gitu, ada pasirnya. Ada juga panasnya.

"Kepo lo, Cil!"

Wildan memutar bola matanya malas, rasanya Ghifari sangat menyebalkan. "Gak sekolah lu, Cil?"

"Hem?"

Ghifari menoyor kepala Wildan, lantaran greget dengan Adiknya. "Bukannya jawab malah, hem? Mandi sono!"

Mengapa Wildan merasa Ghifari ini ingin sekali Widan cepat-cepat mandi? Biasanya juga, Wildan paling ngaret kalo mandi, Ghifari juga santai-santai sajs.

"Iya-iya ish!" Sebelum meninggalkan Ghifari, anak laki-laki itu kembali menyomot kripik yang barusan dia makan. Rasanya terlalu enak, tidak boleh hanya dijadikan pajangan  saja di meja.

Ghifari menatap punggung Wildan yang semakin jauh pergi ke kamar. Setelah memastikan Wildan pergi, pemuda itu segera menyalakan ponsel, lalu mengirim pesan pada nomor yang baru saja dia save.

Jarinya sangat lincah mengetikkan kata-kata.

Ghifari:

[Di kafe Coklat, jam satu siang. Gue bakal tunggu lo.]

***

Wildan menunggu kedatangan Marco, anak itu belum menunjukkan batang hidungnya. Wildan tadi berangkat sangat pagi, Ghifari bilang, pemuda itu ada PR yang harus segera dikerjakan. Wildan mencibir, PR itu pekerjaan rumah, lalu kenapa Aa nya mengerjakan PR di sekolah?

Sangat tidak patut ditiru.

"Wild? Kamu kok jarang ngobrol sama yang lain?"

"Ah?"

Wildan tersenyum kikuk, seorang gadis dengan rambut pendeknya sudah membuat Wildan bingung harus menjawab apa. Gadis itu memandangi Wildan dari kepala sampai ujung kaki. Membuat Wildan semakin kikuk.

"Kamu cuma suka temenan sama orang super kaya raya, yah? Marco contohnya. Yang lain gak mau? Ah, aku pikir orang kayak kamu gak akan pilih-pilih temen, eh taunya sama aja." Gadis itu melirik Wildan sinis, ternyata anak orang yang sangat kaya seperti Wildan sama saja, pilih-pilih teman.

"Eh, enggak gitu, en ...Nay?" Wildan tidak seperti itu, Wildan mau-mau saja berteman dengan siapa pun. Hanya saja, Wildan orang yang pendiam jika bertemu dengan orang baru. Wildan memandang kepergian Naya--perempuan yang mengajak Wildan berbicara tadi.

Apa sikap Wildan selama ini sudah berlebihan? Apakah Wildan harus mengubah sikapnya agar mudah menerima orang baru? Wildan akan humoris kok jika lawan bicara Wildan humoris, Wildan hanya menyesuaikan saja, begitu pikir Wildan.

Marco yang baru saja datang, menatap Wildan dengan tatapan aneh. Tidak biasanya Wildan murung di pagi hari. Biasanya, Wildan akan ceria menyambut kedatangan Marco.

"Wild, kamu kenapa?" tanya Marco. Wildan menggeleng lemah.

"En ... kamu sedih ya, gara-gara semalam aku gak menginap di rumahmu?" Hanya itu sih yang Marco pikirkan, tidak mungkin Wildan murung karena Ghifari.

"Gak kok Marco," jawab Wildan.

Marco mendudukkan pantatnya di kursi, lalu meyentuh tangan Wildan. "Kalau aja si  monyet itu gak ngusir aku, Wil. Mungkin aku serius nginep di rumahmu, gara-gara Kakak kamu sih." Marco sudah misuh-misuh sendiri. Sangat kesal dengan Ghifari.

"Jangan ngatain monyet Marco," lontar Wildan. Marco mengerutkan kening. Panggilan monyet sangat pas untuk Ghifari.

"Dia aja panggil aku Markonah," elak Marco merasa tak terima.

"Ya dia gak pernah nyamain kamu sama hewan, 'kan?" tanya Wildan serius yang dijawab anggukan oleh Marco.

"Nah, yaudah jangan gitu. A Ghifari cuma bercanda kok sama kamu, jangan dimasukkin ke hati," ucap Wildan.

"Yaiyalah kamu bela si monyet, dia 'kan Kakak kamu."

"Marco!"

***

Aa' The Best  (Bukan BxB!)✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang