Dua Puluh🍁

167 27 0
                                    

"Hadirnya Wildan semakin mempererat keluarga mereka."




20. Saksi bisu

***

Wildan tidak menyangka, anak laki-laki yang sangat bandel seperti Marco bisa mudah menangis hanya karena curhat masalah anak perempuan.

"Wild! Aku tahu dia gak suka aku, tapi ya jangan gitu caranya, Wild. Aku sakit hati kalau gitu, apa lagi banyak yang lihatin aku waktu itu." Marco mengelap air matanya dengan sarung bantal Wildan. Sesekali memakan ciki yang dia bawa dari rumah.

Wildan meringis melihat betapa basahnya bantal Wildan, kemudian menepuk-nepuk pundak Marco agar Marco bisa tenang.

Menurut Wildan, masalah Marco tidak terlau rumit.

Marco suka Kakak kelasnya, dia juga sudah menyatakan perasaannya. Namun dengan tega, Kakak kelas yang Marco taksir menolak cinta Marco. Bahkan sempat mengatai Marco, dan Marco mendapat banyak sumbangan tawa dari teman-teman Kakak kelas yang Marco taksir.

Marco bilang, dia sangat malu.

"Wild, apa kamu gak punya kisah cinta?"  tanya Marco yang membuat Wildan menggeleng. Marco mendengus kesal, hidup Wildan terlalu suram.

"Kamu tahu Marco? Dulu, aku juga pernah cinta ...."

"Hah?! Siapa? Siapa perempuan itu? Siapa namanya! Aku gak nyangka ada perempuan yang bisa luluhin Wildan!" Marco memotong pembicaraan Wildan.

Wildan memutar bola matanya malas. "Awalnya, aku cinta dan sangat sayang. Namun perlahan, cinta itu mulai menghilang dari sini," ungkap Wildan sambil menyentuh dada, yang semakin membuat Marco penasaran.

"Lalu?"

"Aku hanya, sedikit rindu saja." Wildan menghembuskan napasnya. "Terlalu banyak kenangan sampai aku susah melupakan kenangan itu," lanjut Wildan.

"Memang siapa orang itu? Siapa sih heh?" desak Marco.

Wildan tersenyum miris, bibirnya ragu akan memanggil nama panggilan itu lagi.

"Keluargaku, Marco."

***

Makan malam kali ini terbilang ramai, Marco dan Ghifari lah yang menjadi penyebabnya. Zevan dan Melani sempat terkekeh melihat ribut kecil-kecilan yang sudah diciptakan Ghifari dan Marco di meja makan.

"Heh! Gue gak mau lo lama-lama numpang di sini, yah! Ganggu, Woy!"

"Terserah aku dong! Wildan aja izinin."

"Rumah gue nih, napa izin ke Wildan?"

"Wildan tuh temenku! Situ siapa?!"

"Wah, Markonah ngajak ribut."

Wildan tidak mau ikut serta dalam acara ribut di ruang makan. Anak itu sangat tenang menghabiskan makanannya tanpa terganggu sedikit pun dengan keributan yang Ghifari dan Marco buat.

Tidak ada yang melerai ... semuanya berpikir, keributan itu pasti berhenti sendiri nanti.

"Cil! Bocil!" Ghifari menggungcang-guncang tubuh Wildan.  Wildan menatap galak Kakaknya, dia baru saja selesai makan, dan dengan kurang ajarnya Ghifari membuat Wildan ingin muntah.

"A!"

Ghifari menyengir, melihat adiknya sedang dalam mode super galak.

"Ini, Cil. Temen lu ini kurang ajar bener," adu Ghifari menunjuk Marco.

Marco menjambak rambut Ghifari, merasa kesal dengan teman Kakaknya--Abi.

"Situ yang kurang ajar!"

Wildan pusing sendiri melihat perdebatan antara temannya juga Kakaknya. Mereka sudah seperti Tom And Jerry saja, yang satu tidak bisa diam, yang satu terus saja mengoceh. Paket lengkap sudah.

"Sono pulang deh lu," usir Ghifari mendorong lengan Marco yang tengah memakan pisang.

"Dih, suka-suka aku dong. Mau nginap malah," ucap Marco membuat Ghifari kaget layaknya mendengar suara petir.

"Pulang enggak lu!" tekan Ghifari, sampai menarik-narik tangan Marco untuk bangun.

"Kagak."

"Pulang!"

"Kagak."

"Pulang MARKONAH!"

"Kagak, Gigi buaya! Aku enggak mau." dah, kuping Wildan rasanya ingin dicopot sementara saja.

Perdebatan kecil mereka terhenti, ketika Zevan membawa beberapa lampion dengan warna yang berbeda-beda, serta Melani yang dari dapur membawa jagung yang masih mentah. Lumayan banyak.

Zevan juga Melani mengajak semuanya untuk ke halaman depan, mereka memulai malam minggu ini dengan membakar jagung bersama, lalu melepas lampion nanti. Mungkin, ini akan menjadi hari yang paling berharga untuk Wildan ... juga yang lain.

"Yang kenceng dong! Tenaga lagi masa letoy," ujar Marco yang hanya berteriak, tidak membantu.

"Diam deh kamu, pegel tahu. Nih coba kamu yang kipasin, aku mau temuin Aa dulu." Wildan melempar barang yang bisa di kipaskan pada jagung yang setengah matang itu.

Panggilan untuk Marco telah datang, Abi menjemput Marco untuk pulang. Acara makan-makan jagung telah usai, Marco juga membawa sisa jagung bakar itu untuk ia santap kembali dirumahnya nanti bersama keluarga.

Kini, hanya tersisa empat orang. Mereka berbaring diatas rumput. Melihat dengan jelas setiap bintang yang bekerlip, bulan yang menyinari. Rasanya Wildan masih enggan untuk berlalu dari masa ini.

"Papah punya challenge," ujar Zevan menatap ketiga orang di sampingnya.

"Apa, Pah?" tanya Ghifari.

"Coba kalian sebutkan, kata-kata yang dari dulu ingin kalian katakan. Katakan pada mereka, mereka yang akan menjadi saksi bisu omongan kita untuk malam ini." Zevan menatap bintang juga bulan ke atas langit, yang ia sebut dengan kata 'mereka'

"Oke. Siapa dulu nih?" tanya Melani.

"Mamah dulu, terus Wildan, Ghifari lalu Ayah."

Tangan mereka saling merapat, memejamkan mata. Lalu kembali dibuka, menatap langit penuh cinta, Melani mulai mengeluarkan kata-kata untuk malam ini. Malam yang spesial, malam penuh arti. Dan malam ... yang mungkin suatu saat akan dirindukan.

"Dari Mamah, kebahagiaan Mamah tidak terukir dari materi saja. Kebahagiaan paling besar itu kalian. 'keluarga' Mamah berharap, kita akan terus seperti ini. Berjuang bersama, semangat bersama."

Hening menyapa, sampai pada saatnya suara deheman dari Wildan terdengar. Tanpa sadar, ia menangis dalam diam, sungguh. Wildan merasa malam ini benar-benar tahu apa itu arti sebuah keluarga.

"Wildan." anak itu menggantungkan kalimat,  menghapus jejak  air mata yang sempat turun. "Kebahagian Wildan adalah kebersamaan, Wildan punya impian. Hanya sederhana, Wildan berharap malam ini sang pencipta bisa mendengarkannya bahkan mengabulkannya."

"Dari Aa, buat kalian semua. Aa bahagia dalam keadaan seperti ini. Berharap, ikatan tali kekeluargaan kita tidak akan punah. Jika bukan takdir yang akan mengubah segalanya."

"Ayah tidak bisa berkata apa-apa lagi selain kata. Terima kasih. Terima kasih kepada kalian yang telah hadir dalam hidup Ayah, kalian orang-orang yang hebat."

Malam menyapa, angin berhembus. Paparan sinar bulan menjadi pelengkap untuk malam ini, selain terharunya suasana, masing-masing mereka juga menyimpan malam ini untuk dijadikan sebuah kenangan.

"Satu, dua ...."

Potret keempat orang itu dengan masing-masing memegang lampion terpapar rapih di bingkai kayu dengan balutan kaca. Kenangan yang akan terus tersimpan walau sudah masam, hadirnya Wildan semakin mempererat keluarga mereka.

Bingkai itu tersusun cantik diruang tamu, senyuman dari masing-masing orang itu terlihat begitu tulus. Ada rasa gusar ketika terus memandangnya, sesuatu yang bahkan tidak bisa diutarakan.

***

Aa' The Best  (Bukan BxB!)✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang