Tujuh Belas🍁

176 26 0
                                    


"Menjadi teman Fabian yang biasa dipanggil Abi sangat menyenangkan baginya."




17. Kepolosan

***

"Kaya enggak makan satu bulan, Wil." Marco menganga melihat Wildan memakan makanan dengan rakus, apalagi minum. Jika dihitung, mungkin Wildan sudah meminum dua botol minuman.

Setelah acara jemur-jemuran disekolah tadi, Wildan, Marco dan masing-masing Abangnya kini tengah makan di warung Mpok Atiek. Warung langganan Abi. Katanya enak, enakan disana dari pada di Restoran.

Dan ... Ghifari juga Abi yang masih mengatur masing-masing napas mereka setelah berlarian dikejar anjing biadab. Piring mereka masing-masing masih sama-sama terisi penuh, hanya kedua botol kosong saja yang tersisa.

MPLS hari pertama telah usai, berharap untuk besok Wildan akan mendapatkan kenangan yang baik. Bukan seperti ini, ajakan dari temannya itu tidak menguntungkan, tetapi merugikan. Tapi Wildan senang. Dihari pertama ini, ia diperkenalkan dengan Marco. Anaknya itu terus terang, perhatian dan ... tidak pemalu. Marco tidak mengenal batas usia seseorang, mau tua ataupun muda. Marco menganggapnya seumur.

"Gila, anjingnya suka kali sama lo, Ghif." Napas Abi masih sedikit putus-putus.

"Jelas. Gue ganteng," ujar Ghifari dengan percaya dirinya.

"Jelek dikit an boleh lah, kasih ke gue." Wildan dan Marco hanya menyimak Abang-abangnya yang tengah berbincang itu.

"Kagak boleh, orang pabrik pembuatan-nya juga beda." Abi menampar keras punggung Ghifari, anak ini. Bagaimana jika kedua curut tadi mendengar percakapan mereka. Bisa rumit urusannya nanti.

Wildan dan Marco saling pandang. Kedua curut yang Abi maksud tadi itu Wildan juga Marco. Setelah makanan yang Wildan kunyah terasa telah masuk ke dalam perut, barulah anak itu membuka kembali obrolan.

"Beda pabrik, Aa emang kita dibuat di pabrik ya?" tanya Wildan mengedip-ngedipkan matanya.

"E-h. A--"

Ghifari gelagapan sekarang. Kudu sabar hadapi makhluk sepolos Wildan ini. Salah ucap aja bisa berabe. Urusannya bisa panjang. Sedangkan Abi yang melihatnya pun hanya bisa cekikikan tanpa berniat membantu Ghifari berbicara, padahal beberapa kali Ghifari memberikan kode pada Abi. Sedangkan Abi berpura-pura tidak paham saja.

"Itu Will, anu. Lupain udah. Buruan dihabisin makanannya, bentar lagi kita pulang."

"Iya deh."

Jujur, Wildan masih penasaran. Ia akan menanyakannya nanti pada Melani atau Zevan setelah berada di rumah. Kini mereka tengah diperjalanan pulang, sengaja Ghifari yang menjemput Wildan. Tadinya Zevan yang akan menjemput.

"Aa," panggil Wildan dibalik helm nya.

"Hm?"

"Upil kuda tuh apa?"

Wah, benar-benar nih. Gaul sama Adeknya si Abi Wildan jadi gini nih, Ghifari berpikir mungkin Wildan cocoknya berteman dengan anak pendiam saja. Jangan seperti Marco yang tengilnya sama seperti Abi.

Harus jawab bagaimana lagi sekarang, Ghifari masih belum memberikan jawaban pada Wildan yang, anak itu sendiri tengah menunggu jawaban keluar dari mulut sang Kakak.

***

Wildan dan Ghifari menatap takut ke arah wanita dengan pakaian kebanggaannya, daster.

Wanita itu mendekat ke arah Ghifari dan Wildan yang tengah duduk di sofa ruang tamu.
Matanya melotot, kedua tangannya bersedekap.

Jam pulang SMP Garuda sudah berbunyi sedari tadi, bahkan Ghifari yang jadwal pulangnya masih lama ikutan pulang. Niat hati ingin pergi ke rumah Abi, Melani justru meneror habis-habisan ponselnya.

"Ghifari! Wildan!"

Wildan dan Ghifati menunduk, kedua telinga mereka ditutup dengan tangan. Suara Melani sangat keras, membuat telinga mereka sedikit sakit.

"Siapa yang menyuruh kalian membuat ulah di sekolah, hah?!"

ART yang sedang bekerja, sesekali menguping pembicaraan kedua Tuan muda dan sang Nyonya besar. Acara seperti itu tidak boleh dilewatkan.

Melani menghela napasnya kasar, kedua putranya ini sudah membuatnya sakit kepala. Ghifari yang sering membuat ulah juga tak pernah kapok. Jika dimarahi, Ghifari akan meminta maaf dan selanjutnya kembali membuat ulah lagi, begitu seterusnya, selalu diulang-ulang. Sampai membuat Melani jengah.

"Wildan, kamu kenapa jadi ikut-ikut Aa-mu itu, sih?" tanya Melani. Wanita itu duduk di samping Wildan, kemudian menarik kepala Wildan agar mau melihatnya.

"Maaf, Mah. Tadi, 'kan Wildan sudah menjelaskan di sekolah," lontar Wildan sedikit takut.

Melani memijat pangkal hidungnya, sangat pusing dengan kelakuan mereka. "Mamah gak akan kasih izin Wildan buat main sama Marco, kalau Marco bawa pengaruh buruk lagi buat Wildan," tutur Melani. Melani tidak ingin Wildan menjadi anak bandel seperti Ghifari. Melani sangat menyayangi kedua putranya, Melani juga harus pandai memilih teman untuk kedua putranya.

"Ghifari! Untuk seminggu ini, Mamah larang kamu main sama si Fabian!" ujar Melani, matanya menatap galak Ghifari yang hendak protes.

"Jangan berani membantah! Fabian udah banyak bikin kamu jadi bandel gini, Ghifa!"

Ghifari lantas mengangguk pelan. Menjadi teman Fabian yang biasa dipanggil Abi sangat menyenangkan baginya. Abi sudah banyak membuat Ghifari mengetahui hal-hal baru. Berkat Abi juga, dia bisa merasakan bagaimana mempunyai teman itu.

Melani menyentuh surai Ghifari. "Mamah hanya ingin yang terbaik buat kamu Ghifari, hanya seminggu saja, tidak lebih."

Wildan menatap Ghifari, ada tatapan tak rela di mata Ghifari. Sepertinya Ghifari dan Abi sudah lama sekali berteman.

"Mamah gak mau dengar ada ulah buruk yang kalian lakukan lagi yah. Mamah gak akan turun tangan nanti. Berani berbuat, berani bertanggung jawab."

"Yasudah kalian ganti baju, mamah tunggu di meja makan," perintah Melani. Ghifari dan Wildan mengangguk, kemudian mereka melangkah menuju ke kamar masing-masing yang berada di lantai dua.

***

Aa' The Best  (Bukan BxB!)✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang