Sembilan🍁

180 26 0
                                    


"Ingin melawan, Wildan sayang. Seburuk apapun mereka, mereka tetaplah orang tua Wildan."

9. Kecewa

****

Asupan pagi ini dihadapkan dengan dedaunan kering yang berserakan didepan dan belakang halaman rumahnya. Beruntung hari ini angin tidak terlalu kencang, syukurlah Wildan masih dengan mudah menyapu halaman tanpa harus menguras energi lebih banyak lagi.

Dia memang iklhas, namun tidak ada pancaran senyuman pun dari wajahnya. Selama ini, Wildan masih bisa memakai topeng palsunya dengan menunjukkan kepada orang-orang bahwa dia adalah manusia yang  paling banyak kebahagiaan. Namun, semuanya hanya dusta.

Wildan memandang setiap dedaunan yang kembali jatuh dari atas diterpa angin, dengan sabar Wildan memunguti satu persatu lembar daun yang baru saja kembali berserakan mengotori halaman.

"Heh, saya sama Ayah kamu mau keluar. Jadi ... tolong ya bersihin rumah. Yang rajin!"

Wildan tidak menjawab, malas sekali untuk meladeni Nenek lampir dihadapannya itu. Semerdeka dia sajalah, bodo dengan tatakkrama dan sopan, santun. Orang seperti wanita itu tidak pantas mendapatkan tatakkrama dari seorang Wildan, yang modelnya anak baik, ramah dan sopan.

"Huff, Ibu sama Abang lagi ngapain? Mereka dimana. Wildan pengen kesana, Wildan kesepian ...."

Sudah hampir lima belas menit Wildan menyapu halaman. Akhirnya halaman terlihat begitu bersih, sekalian Wildan menyiram tanaman juga. Terlihat begitu layu. Sama seperti dirinya yang layu dan haus akan kasih sayang. Wildan berjalan ke arah meja makan, Ayahnya bilang ia boleh makan setelah mereka selesai.

Wildan berharap banyak, Ayahnya menyisakan makanan yang tadi ia buat. Wildan berpikir, makanan tadi menjadi  empat potong, dan mereka makan hanya berdua. Jadi, mungkin sisanya masih dua. Wildan mengambil piring terlebih dahulu, tidak lupa sekalian dengan gelas. Sendok dan segala macam.

Dibukanya tundung meja, Wildan celingak-celinguk mencari makanan. Oh mungkin sang Ayah menaruhnya dimeja dapur, tidak. Mana mungkin ... jika iya mungkin Wildan sudah melihatnya, karena tadi ia pergi ke dapur mengambil piring.

Nasi pun hanya tersisa sedikit, mungkin setengah piring. Karena memang tadi Wildan membuatnya hanya cukup untuk tiga orang saja. Wildan memandang sarapannya hanya terlihat nasi. Tanpa ada lauk pauk apapun.

Jika saja Wildan memilki uang, mungkin ia sudah memesan makanan. Tetapi ... lihatlah? Jika tadi sang Ayah ingin menghabiskan makanan. Setidaknya ia memberikan uang kepada Wildan, lima ribu juga tidak masalah. Wildan bisa membeli roti untuk mengganjal perutnya yang perlu makanan.

Tanpa berkata apapun lagi, Wildan mengambil nasi. Memasukannya kedalam mulut, tidak ada rasa apapun. Semuanya hambar, sama seperti tengah ia sakit dan Dinar memberikannya bubur. Hanya ada tesktur halus saja yang ia rasakan. Kecewa tentu saja, Wildan merasa dibodohi tadi oleh sang Ayah.

Ingin melawan, Wildan sayang. Seburuk apapun mereka, mereka tetaplah orang tua Wildan. Wildan tidak pernah merasa dendam. Yang ia inginkan hanyalah keluarga yang lengkap seperti dulu, yang diinginkan setiap anak. Memarahi harus ada alasan, jangan membandingkan dengan anak tetangga, menjelek-jelekkan sipat buruk kita didepan khalayak, dan jangan sekali-kali memakai kekerasan fisik.

Anak memang hanya akan diam, namun. Jauh dari lubuk hatinya yang paling dalam, dia terluka. Dia sakit ... bahkan ketika orang tua lebih memuji anak orang. Kita merasa sangat iri. Apalagi Wildan yang dibandingkan dengan saudara sendiri. Padahal mereka sama, darah daging sama. Keluar dari rahim yang sama. Cintailah dengan sepenuh hati, sayangilah dengan kesungguhan hati.

***

Wildan menghela napasnya gusar, berdiam diri sedari tadi di dalam kamarnya sangat membosankan. Biasanya, Azka akan menghubungi dan mengajak Wildan pergi ke rumah Azka untuk sekedar bermain PS. Hari ini, sayangnya Wildan tidak melihat tanda-tanda Azka yang akan menghubunginya.

"Tumben."

Kerutan di dahi Wildan muncul, sebuah pesan masuk dari Azka membuat Wildan heran. Tidak biasanya Azka mengirim pesan.

Azka:

[Pagi, Kucing. Hari ini aku pindah ke Semarang, aku gak akan tinggal lagi di Bandung. Makasih loh buat enam tahunnya di Bandung. Gak nyesel juga jadi sahabat kamu, Will. Haha ... berharap banget bisa ketemu kamu lagi suatu hari nanti. Maaf gak bisa nemuin kamu buat ucap in salam perpisahan. Tetap jadi sahabat aku yah, gini aja gak papa.  Salam, Azka ganteng.]

Seolah ini gak adil untuk Wildan. Wildan terkekeh pelan, sekarang Wildan benar-benar sendiri. Sudah tidak ada alasan lagi untuk Wildan bertahan. Wildan membenci dirinya sendiri yang terlalu lemah. Ditinggal seseorang saja selalu membuat Wildan berlarut-larut dalam kesedihan. Wildan ingin menjadi orang yang kuat dan gak gampang nangis.

Wildan:

[Pagi, Anjing. Ralat, kita bukannya dari TK yah udah sahabatan? Udah 7 tahun dong. Haha ... makasih juga udah setia nemenin aku selama ini. Jaga kesehatan, Az.]

Azka:

[Jijik heh, udah kek orang belok aja.]

Wildan menyeka aliran air matanya. Sungguh, merelakan kepergian sahabat itu sangat menyakitkan. Wildan sangat menyayangi Azka meski anak itu sering bersikap jahil padanya.

Sekarang Wildan tahu, alasan Azka berbicara seperti beberapa hari yang lalu.

'Aku mau pergi jauh, takut kamu kangen 'kan? Nah, sekali aja pengen kamu inget kejadian tadi lewat fotonya nanti.'

Kangen itu sudah pasti. Siapa yang tidak akan merasa kangen jika sahabat jauh dari kita. Sebentar lagi juga Wildan akan merasakan itu, kangen akan tingkah Azka.

Wildan melirik ke arah ponselnya setelah ada satu notifikasi masuk. Sebuah voice notes dikirim oleh Azka beberapa detik yang lalu. Wildan sempat ragu membukanya, takut jika voice notes itu berisi suara teriakan tidak bermutu milik Azka. Azka itu gak jelas, jika anak itu sedang merasa bosan, dengan jahilnya Azka akan mengirim voice notes yang tidak bermutu.

Misal bernyanyi dengan suara fals-nya, tangisan lebay Azka, atau teriakan huruf 'a' yang sangat mengganggu telinga Wildan.

"Hei, ga usah nangis, Cing. Malu-maluin."

Ah, Azka benar-benar sudah menguji kesabaran Wildan. Sehari saja Wildan akan merasakan kejahilan Azka yang semakin meresahkan.

Wildan melempar ponsel ke sofa yang berada di kamarnya. Wildan lelah, dia ingin semua ini cepat berakhir.

Wildan ingin bertemu kembali dengan Ibu dan Kakaknya, dan merasakan sebuah kebahagiaan dari keluarganya seperti dulu. Wildan juga sangat berharap bisa bertemu dengan Azka dalam waktu dekat.

"Wildan ngerasa gak adil banget."

***

Aa' The Best  (Bukan BxB!)✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang