"Ini demi keluarganya."
Bab 25. Berakhir
[Bang, Wildan enggak tahu sama perasaan Wildan untuk hari ini. Wildan mau titip pesan buat Ayah sama Ibu ya. Bilang, Wildan sayang mereka, Wildan rindu mereka. Wildan juga sayang Abang]
[Semoga rindu kalian, rindu yang bisa Wildan rasakan juga]
Anak itu mengetikkan beberapa kata, setelah bercucuran keringat untuk mendapatkan nomor Abangnya Dinar dari ponsel milik Ghifari. Beruntung Ghifari tengah sibuk kemas-kemas di bawah bersama Melani juga Zevan.
Wildan bingung dengan perasaannya sendiri, ada getar yang tidak bisa ia katakan, ada rasa yang tidak bisa ia artikan tersendiri. Satu kata yang ada dalam hati Wildan, takut.
Dari semalam Wildan memikirkan hal-hal aneh lainnya, bahkan semalaman dia begitu manja dengan Ghifari. Tidak ingin lepas sedetik pun dari pelukan hangat Kakaknya, sampai pagi tadi pun Wildan masih ingin ditemani oleh Ghifari, tidak tahu kenapa.
Ia memutuskan untuk turun ke bawah, melihat interaksi keluarga itu. Ghifari sudah siap dengan baju pantinya, seakan semangat sekali. Wildan duduk tengah-tengah mereka. Merasakan kehangatan yang kerap kali muncul.
"Wajahnya kok murung gitu, harus senang dong. Kan mau liburan ini." Zevan yang berjabat sebagai kepala keluarga itu terus memandang wajah Wildan yang memang sulit terbaca untuk menyesuaikan ekspresi.
"Tahu nih, Cil. Nanti pas udah sampai sana, gue ajak lo main pasir dah, kita bikin istana."
"Pulang nanti Wildan mau ajak Abang sama semua ke suatu tempat," ujar Wildan dengan senyum tulusnya. Namun, mereka melihatnya dengan berbeda, seakan senyuman itu tersirat memendam sebuah perasaan.
Ucapan Wildan jadi membuat Ghifari penasaran, begitu pun dengan yang lainnya. Mereka masih memikirkan bagaimana caranya untuk melepas Wildan, bagaimanapun keluarga mereka bukan di sini. Namun, sudah terlanjur sayang. Mau dilepas pun sayang.
Apalagi, mengingat Dinar yang selalu menghampiri Wildan. Ingin membawanya pulang, ingin merasa melepaskan Wildan dan mengalihkannya pada Dinar. Mereka belum bisa, mereka masih ingin tetap bersama.
Melepas Wildan tidak semudah membebaskan burung dari sangkarnya, melepas Wildan seakan melepas sebuah berlian. Tidak rela, dan tidak bisa. Biarkanlah mereka dikatai egois, mereka ingin egois dulu.
"Peluk dulu, boleh?"
Ghifari bisa merasakan perubahan sipat Wildan dari semalam. Aneh saja, biasanya Wildan tidak ingin dekat-dekat dengan Ghifari, Ghifari memegang pipinya saja langsung mendapatkan tamparan dari tangan mungilnya yang luar biasa. Tapi, semalam. Wildan tidak seperti itu, dan sekarang? Wildan seakan memberikan sebuah kode perpisahan.
Ghifari tidak terlalu memikirkan itu, mungkin Wildan sudah merasa nyaman saja. Bagus lah, pikir Ghifari senang. Sekarang, sebelum mereka berangkat saja Wildan meminta pelukan terlebih dahulu, cukup lama. Wildan meresapi kehangatan dalam keluarga itu.
"Nanti Wildan jangan jauh-jauh dari A Ghifari, yah."
"Siap!"
***
Kedua mata Wildan berbinar, ketika dia disuguhkan dengan pemandangan lautan luas beserta sebuah kapal besar di sana.
Jika naik ke sana, pasti akan menyenangkan.
Wildan menunjuk kapal pesiar itu, lalu memandang ke dua orang tuanya penuh harap."Wildan mau naik!" teriak Wildan.
Zevan dan Melani tersenyum seraya mengangguk, mereka memang sudah memutuskan untuk naik ke sana. Tentunya, membawa Wildan ke pengalaman baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aa' The Best (Bukan BxB!)✔
Fiksi Remaja🙏Ini bukanlah cerita gay, ini cerita murni kakak ber-adik. [Lengkap✔] Wildan anak yang tak diinginkan, dia juga korban perceraian orangtuanya. Wildan selalu diusir oleh Ayah dan Ibunya yang sudah memiliki keluarga sendiri-sendiri. Sampai pada akhi...