Show Off

37 9 11
                                    

Sejak hari sukuran rumah, gue jadi lebih dekat sama cewek-depan panggung ini. Kebiasaan sulit tidur membuat kita sering menghabiskan malam dengan berkirim pesan, berkabar, walau hanya satu atau dua kali pesan.

Atau saling bertelepon, karena bonus free talk yang disediakan salah satu provider jaringan telekomunikasi terbesar.

Akhir pekan, hari yang selalu gue tunggu. Kayaknya, hari ini lebih cerah, secerah cewek ini yang memakai kaos kuning berkerah celana jeans biru tua.
Pintu beranda selalu gue buka, anginnya membuat sejuk. Jangan ditanya tanggapan cewek ini, sesekali menggumam, tetapi bukan senandung lagu, tentu aja soal paparan teori.

Gue pilih lagu Edson, menggema ke seluruh penjuru kamar Sunday Lovely Sunday alih-alih sepi.

Sambil buka-buka literature dan buku kuliah yang tebal, andai nimpuk maling bisa  insaf, bikin jenuh sendiri. Dua minggu berkutat sama laporan dan skripsi juga bimbingan, kayaknya di kepala penuh dengan untaian kalimat, teori serta aneka pemaparan penelitian kuantitatif dan kualitatif di kepala. Ditambah magang setiap hari, bisa botak usia muda gue!

Herannya, cewek berambut cokelat yang ada di depan gue, enggak pernah nunjukin bosan sama tumpukan diktat, literatur atau data yang gue kumpulin, dia mengolah sehingga bisa dikerjain dengan mudahnya.

Berulang-ulang kali gue menghela napas, kesekian kali dia baru menatap. Gugup? Atau memang enggak merasa? Dia tersenyum. Akhirnya ....

"Kenapa, Bas? Capek?"
"Yup, begitu."

"Ternyata berkutat dengan angka lebih sulit dari pada hanya membandingkan teori para professor atau ahli. Ya 'kan?"

Nah, itu dia tahu!

"Gue tahu," sedari tadi dia berbicara tanpa menatap gue, tangannya terus bergerak membolak-balik diktat, entah apa yang dia cari.

"Gue udah bete, keluar, yuk?"

"Katanya kalo sambil dengerin lagu-lagu, nggak akan cepat bete, hm?"

Masih asyik dengan catatan-catatan kecilnya dengan rapi dia menulis dengan pensil agar bisa dihapus nanti, kebetulan telepon genggam gue yang ada di atas ranjang bergetar, satu pesan masuk.

[Tince, ke sini. Gue, Bagas, Donny dan Sesa di lapangan dekat rumah.]

"Gi, bawa sepatu?" tanya gue cepat dengan menoleh ke cewek itu, tanpa membalas pesan dari Sigit.

"Kenapa tanya sepatu?"

"Bawa?" tanya gue lagi, kali ini mencecar.

"Gue pake sepatu tadi," jawabnya.
Dengan gerakan cepat, tangan ini memindahkan asal segala kertas dan juga buku yang ada di pangkuan cewek itu ke meja. "Eh!" Gue abaikan protesnya, dalam keadaan bingung, menarik tangannya, menuruni tangga dengan tergesa hingga ke depan teras buat pakai sepatunya.

"Ada Sigit, Donny, Bagas dan Sesa, deket lapangan sini, ikut aja. sorry, tarik tangan lo tadi."

"Oke. Enggak apa-apa."

Wajah lucunya masih tampak, sambil memakai sepatu ketsnya. Gue menunggui sampai dia selesai.

"Lapangannya deket, kok."

Gue terus memperhatikan dia yang terdiam, berjalan bersisian. Wajahnya nyureng tersiram matahari siang menjelang sore, waktu tidak terasa beranjak. Rasanya baru lima menit lalu dia mengetuk pintu kamar.

"Panas, ya?"
"Enggak apa-apa, it doesn't kill me, right?"

Enggak menjawab apa pun, hanya tersenyum ketika dia menjawab, lantas menatap. Serba salah juga berhadapan sama cewek pendiam kayak dia, masa gue tawarin rokok terus, doi bukan abang tukang parkir.

A Love Could Kill UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang