Bali

51 6 5
                                    

Izin pergi ke Bali bukan hal yang mudah, apa lagi ke Papi. Dia meminta untuk magang sementara di perusahaan miliknya, in return, aku bisa pergi ke Bali selama yang aku mau. Menyebalkan! Tentu saja, bilang pergi bersama teman, bukan dengan Bastian.

Magang—bimbingan skripsi dan sesekali hadir di kampus untuk mata kuliah yang tersisa, bikin  kewalahan juga. Waktu dengan Bastian, jelas berkurang, cowok itu pun mulai sibuk dengan Dante's.

Hari berangkat ke Bali, Bastian bilang sudah mengatur segalanya. Bertemu di Bandara Tangerang Selatan katanya. Pesawat berangkat sore, paginya, aku masih harus ke kampus. Kadang gemas juga, di kelas cowok itu rewel, telepon terus berdering, menampilkan namanya. Mana sangka tetiba dia ada di depan mata, membuka dua tangannya, tersenyum. “Surprise!”

Kaget, tapi menyenangkan, “Bas!” tanpa sadar, menghambur ke pelukannya di depan umum, hal yang jarang aku lakukan. Melingkarkan lengan di lehernya yang terasa lebih kurus sejak terakhir bertemu. Dan .... Hampir mengecup bibirnya.

Miss you like crazy, Bas ...,” bisikku.
Dia menangkup wajah, entah di kantin jam makan siang begini ramai mahasiswa. Tetapi, rasa rindu ini seperti api dalam sekam, lama-lama berkobar juga.

“Sekarang genit, mau nyosor aja, depan umum.” Dia menempelkan dahi di keningku.

Aku tertawa kecil, mengurai pelukan.

“Yuk!” Ajakan mirip perintah seperti, cepat, jalan!

Bodohnya, aku hanya mengikuti jalan terburu-buru, tepatnya, menyeret! Menuju pelataran tempat dia memarkirkan mobil pinjaman Kakak kesayangannya. Sekarang dia berada di belakang kemudi, melajukan mobilnya. Keluar dari jalan bebas hambatan Grogol, memasuki jalan tol Soediyatmo.
Sampai memasuki kawasan bandara Soekarno Hatta, Bastian mengarahkan mobilnya ke tempat parkir, menarik tuas rem tangan. Cowok itu membuka bagasi mobil. Mengeluarkan tas travel warna hijau daun, juga tas punggung hitam.
Kini, dia menggenggam jemari sambil berjalan beriringan, bukan menarik atau menyeret seperti tadi. Menunjukkan karcis ke petugas penerbangan yang berjejer, hingga sampai di tempat duduk pesawat.

Sepanjang perjalanan dia tidak melepas genggamannya, sangat Bastian sekali yang ternyata aku rindu, sesekali kita saling tersenyum menatap.
Ada satu yang tidak biasa, dia memakai topi, kupluk.

"Kenapa ketawa?" tanyanya saat pesawat yang kita tumpangi mengudara.

“Tumben, pakai topi kupluk?”

“O, rambutku baru ...,” Dia membuka topinya dan rambutnya di potong habis, hanya dua sentimeter tersisa.

Terbelalak kaget tapi, tetap tersenyum, tidak hilang semua pesona yang ada dalam dirinya. Malah mengecup kepala plontosnya cukup lama.

"Aku tahu kamu kangen," ujarnya, jail.
"Where have you been, what are you doing?"

"Missing you," jawabnya sambil mengecup punggung tangan.
Kita berpandangan cukup lama, dada mulai berdentam, aku hanya tersenyum. Hingga akhirnya terlontar kata, “gombal!”

Cowok berkaus biru itu tersenyum, kali ini memajukan kepalanya, mengikis jarak hingga bibir kita saling bersentuhan. "Bas, malu,” ujarku saat dia mengurainya sebentar, walau ada rasa kecewa sedikit.

“Enggak, lihat deh. kursi samping kita, penumpangnya tidur, depannya juga. Yang ada dekat jendela, dengerin musik. Its okay, right?”

Entah, dorongan apa, hingga membiarkan dia melakukan apa pun.
Lampu bertanda sabuk pengaman menyala dan pramugari yang terlihat berkeliling menghentikan apa yang kita lakukan. Tentu saja, napasku masih sedikit tersengal. Juga bertanya-tanya serangannya tadi lebih agresif dari biasanya, cepat menyasar ke titik sensitif.

A Love Could Kill UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang