An Accident

43 5 2
                                    

(Bastian)

"Oh, Bas. No!"

Jeritan itu yang terakhir gue dengar dari mulutnya. Lalu terdengar suara berdebam keras-hingga memekakkan telinga. Mengambil napas beberapa saat-lalu baru menyadari-gadis yang ada di samping kiri-tidak sadarkan diri-darah mengalir menutupi wajah yang bersih.

"Gi, bangun, Gi! Damn!" Cewek ini bergeming, apa guncangan gue kurang keras buat bangunin dia? Rasanya, mata mulai panas kebingungan. Tangan dan sekujur tubuh mulai gemeteran. Kalau dia mati gimana?

Terus-terusan berpikir ini adalah kebego-an gue. Takut banget dia mati, melihat wajahnya yang pasi dan badannya lemas, seperti tiada satu pun tulang yang ada di tubuhnya.

Gue menjambak rambut dengan keras.
Rasanya ada mobil menabrak dengan keras. Hingga sedan yang gue kendarai penyok kap-nya. Seorang pria bule menawarkan untuk mengantar ke rumah sakit terdekat. Dia juga bilang ada baiknya menelepon perusahaan sewa mobil. Sekadar mencari solusi.
Semua saran gue dengar, mengantar sampai Aigeia masuk ruang perawatan dan ditangani dokter, walau tremor ini tak berhenti.

Mengisi perlahan formulir-juga menemui pihak penyewa. Yang dengan senang hati mengganti mobil bersama supir. Tentunya gue masih trauma membawa mobil sendiri. Gantian sama Aigeia, enggak mungkin!

***

"Hai, Honey bee ..."
Akhirnya dia membuka mata, enggak lama setelah menyelesaikan urusan. Duduk di kursi hanya memandangnya. Menggeser agar lebih dekat ke kepalanya.

"Hai. Kamu enggak apa-apa?" Cewek ini mendaratkan telapaknya yang halus di pipi, berusaha untuk duduk. Tetapi kemudian menekan kepala dengan tangannya, sambil mendesis. Kepalanya di jahit, dan masih menempel dibebat.

"Sstt... Pelan-pelan bangunnya." Rasanya ingin memberi ciuman bertubi. Menangkap telapaknya lalu mengecup, menghidu harum telapak tangannya.

"As you see, i'm okay, right?"
Dia tersenyum, lega sepertinya. Sama seperti gue, lega melihatnya terbangun dan mengingat semua. Ketika dokter mengatakan gegar otak ringan, sepertinya semua salah gue. Kenapa enggak gue aja yang bedarah-darah begini.

Ajak dia ke Bali, bilang hanya dua hari, nyatanya entah berapa lama memintanya tetap tinggal setidaknya hingga dua hari ke depan.

"Perlu kabarin papi kamu?"

"Jangan. Please! Ada uang untuk administrasinya?"

"Ada. Tapi kurang. Hehehe ...."

"Nggak apa, nanti aku tambahin, didebit. Mobilnya gimana?"

"Di derek, tapi di ganti, nanti tempat sewanya mengantar sampai hotel yang kita tuju." Dia tersenyum lagi, tidak tahan dengan godaan, mengecup bibirnya. "Ok. Tryin to sleep, Gi. Dokter bilang istirahat dulu beberapa jam, baru diizinin pulang."

"Ok. Aku istirahat," katanya, terpejam sambil tersenyum. "Bas, kamu tahu, soal Pretty Woman itu?"

"Ck. Sudahlah ..." Tahu kan, masih ketar-ketir, walau semua urusan selesai. Diajak bercanda pun, enggan. Jantung gue pun masih berdegup enggak beraturan.

"Bas, denger dulu." Kali ini dia tersenyum seperti mengejek. Gue menunggu. "Aku suka lagunya, tahu 'kan? Roxette."

"Astaga! Kamu suka lagu Roxette itu?" Dia mengangguk penuh tawa. "Aku bayangin aja, akhirnya Vivian jadian sama Richard Gere 'kan? I just happy waktu adegan itu."

"Aku pikir karena settingnya di New York."

"Bukan, Bas. Itu di LA."
"Oh, ya." Gue tertawa.

Lay your whisper on my pillow.
Lead the winter on the ground. I wake up lonely

A Love Could Kill UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang