Kind Of Desperate

19 3 3
                                    

Aigeia

Sepanjang perjalanan pulang, Kakek sibuk menceritakan soal pemuda tadi. Kurang lebih cerita yang kudengar dari Kakek adalah, dia anak dari sahabat Papi.

Mengapa aku mendengarnya tidak semangat. Hanya mencelus terus-terusan, ingat Bastian.

Hanya ada kata 'bagaimana?'
Bagaimana kalau dia tidak bangun lagi.
Bagaimana kalau apa yang dikatakan Sienna itu benar dan-aku sendirian (lagi)-di dunia ini. Tidakkah konyol kalau memang benar Bastian meninggalkan aku dengan dia.

Ya, dia yang bahkan aku enggak tahu apakah-ada atau tidak-atau hanya perasaanku saja?

Teringat perkataan guru SMP dahulu, seorang wanita mempunyai insting dan naluri yang kuat. Dia-akan tahu dirinya sedang mengandung atau tidak.

Mengandung ...

Sekarang aku benar-benar ketakutan.

"Jadi, Liem itu pernah menjadi partner bisnis Papi kamu, Gei," kata Kakek, tentu saja, aku menatap dia. Namun tatapanku kosong dan perlahan air mata mengalir juga.

Merespon semua perkataan Kakek dengan mengangguk.

"Apa kamu masih memikirkan Bastian?"

Aku mengangguk, makin keras isakan sekarang. Kalau saja kemarin-kemarin aku-ingin sendirian, sekarang rasanya aku ingin menumpahkan semua yang terpendam ini ke Kakek.

"Kemungkinan Bastian selamat dan bangun, pulih, hanya lima puluh persen," ucapku gemetar.

Kakek menarikku ke dadanya yang selalu kubilang peyot. Tetapi aku sangat membutuhkan dada peyot itu sekarang, dan selamanya.

"Aku takut, Kek," raungku.
Kakek berulang kali mengecup kepala. "Semua akan baik-baik saja, Gei."

Rasanya, aku terlalu pengecut, ingin melakukan apa-apa sendiri, dan ingin menyendiri. Tetapi sekarang kertakutan juga. Badan gemetaran rasanya, tidak dapat ditahan. Ketika sampai rumah, sulit sekali rasanya berjalan. Ada Pak Nurdin yang membantu berjalan sampai kamar.

Lantas terdengar pintu kamar yang diketuk.

Dan seperti biasa, dengan langkah gontai aku membukakan pintu.

"Mbak, kata tuan makan dulu," kata si asisten rumah tangga. Dia menyeruak masuk.

"Taro aja di situ, Mba," jawabku lemas tak terkira, mual dan juga keluar keringat dingin.

Aku tahu harus makan, tetapi rasa mual dan perih tak dapat disangkal lagi, menyerang hebat. Hingga melarikan diri ke kamar mandi.

Mual itu mungkin hanya kamuflase atau apa, entah, aku tak mengerti. Perut serasa diaduk dan semua organ rasanya berontak ingin dikeluarkan, tetapi yang ada, aku hanya bekerja keras entah apa yang mau keluar dari mulut, nyatanya, hanya cairan yang entah apa dan dari mana.

Alhasil, lemas, setengah mati mencoba berjalan ke ranjang-dan berbaring.
Aku merasakan ponsel yang bergetar di kasur. Namun rasanya terlalu lemas untuk merespon. Hanya memandang kosong ke eternit kamar, sambil bertanya-tanya, ada apa dengan tubuhku? Apakah, radang percernaan lagi? Atau apa?

Selang beberapa jam, baru membuka ponsel, notifikasinya tertulis beberapa pesan dari Bastian.

Aku membesarkan mata, dan bangkit dari rebah, duduk.

Bastian?

[Gei, Bastian sudah sadar.]

Aku tahu itu Sienna yang mengetik pesan.

[Lo di mana? Bisa balik ke kamar, kan?]

Pesan yang berikutnya masuk. Aku tahu itu masih Sienna.

[Gi ...]

A Love Could Kill UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang