Obat Penenang Keparat!

26 3 2
                                    

Bastian

Kenapa tidur di sofa rumah sendiri bikin gue gelisah? 

Matiin—nyalain TV, entah berapa kali, tetap aja nggak bisa tidur! Kalau aja kerja, biasanya malam begini gue abisin dengan melihat data atau cicil kerjaan buat besok.

Ada beberapa data yang dikasih sebelum gue balik ke Jakarta, tapi, itu semua sudah selesai. Dan malam ini? 

Entahlah, mata gue nggak bisa beralih dari pintu kamar. Sengaja volume TV gue kecilin, dan mondar-mandir di depan balkon, nggak tahu berapa kali. 

Apakah pintunya dikunci? Gue mencoba menekan engsel pintu, lalu mendorongnya. 

Tapi, beberapa detik kemudian gue menggeleng. Dia bisa kaget. Semua bisa kacau. Jadi gue balik ke sofa dan mencoba tidur .... 

Dan, akhirnya gue mengantuk. 

Entah berapa lama memejam, gue mendengar suara. Unit sebelah kebiasaan, berisik kalo lagi berduaan. Masih memejam mencoba untuk terlelap sekali lagi. Lama kelamaan, suaranya terdengar tidak jauh. 

Kesal, masih ngantuk, gue bangun dari rebah, terpaksa. Fokus mendengar ada di mana suara itu? 

“Gia!”

Dia masih memejam ketika gue buka pintu kamar. Mimpi buruk? Pelipisnya berkeringat, seperti orang tidak bisa bernapas.

“Gi!” panggil gue, membeku di ambang pintu, tanpa tahu apa yang harus gue lakukan? 

Reza, mungkin dia punya jawabannya. 

And thank god he answered the call! 

“Rez, mau tanya cepet dijawab.”

“Oke.”

“Gia, dia kayak susah napas, tapi matanya merem ....”

“Bangunin! Dia mimpi buruk bisa jadi itu yang bikin dia trauma.”
“Gue panggilin tadi. Tapi ga bangun-bangun.”

“Apa pun caranya lo harus bangunin. Guncang badannya.”

Entah satu atau dua detik, gue hanya memandang Aigeia yang terus meracau. “Jangan! Jangan ke sana!”

“Cepat!” sentakan Reza mengagetkan gue. Tanpa mikir lagi, loncat ke kasur, histeris panggil namanya.

“Gi!” Harus mengguncang badannya? “Gi!" Gue menggapai tangannya yang mencoba meraih sesuatu, dan terus mengguncang badannya.

Matanya terbuka bertepatan ketika dia membuka mulutnya hampir berteriak.

Dia menatap gue nanar, lalu berteriak. Bangun dari rebah secepat kilat, menutupi badannya dengan selimut dan duduk membelakangi gue. Perlahan, gue menggeser duduk, terlihat bagian kiri wajahnya.

Terlihat dia menyeka air matanya. Lalu menoleh ke arah gue. 

“Sorry.”

“Sorry.”

Kita mengucap bersamaan. 

“Sorry, tadi gue denger ...”

“Ya, ganggu tidur kamu. Maafkan aku ... “

“Gue nggak tidur,” timpal gue sambil cengengesan. Perlahan dia menatap gue, dan sadar, cengengesan mau menghibur dia sedikit. Tapi salah, dan gue berdeham. “Mau minum? Atau yang lain?”

Mulutnya terbuka, “Minum air putih.”

“Gue ambilin.”

Gue meninggalkan kamar, tapi mata gue terus mengawasi, waspada ada gerakan atau apa pun. Tapi, nyatanya Aigeia hanya diam, tidak melakukan apa-apa. 

A Love Could Kill UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang