Akhir yang Bukan Akhir

85 3 6
                                    

Aigeia

Aku tahu, semua yang dikatakan Papi bertentangan dengan keinginan Bastian. Cowok itu diam sepanjang perjalanan, kami saling mendiamkan. Sementara, air mata turun sambil sesenggukan.

Andai Bastian tahu, Fetus seperti bergerak tak tentu. Sesekali seperti membuat napas berhenti hingga tangan gemetar.

"Tenang .... Tenang dulu ...," kataku dalam hati. Kita pasti akan punya solusinya.

Sampai akhirnya menarik rem, menepikan mobil di depan rumah Bastian. Cowok itu menoleh pada akhirnya, meski keluar keringat dingin, aku memaksakan senyuman.

"Gi, kamu enggak apa-apa?" tanyanya.
Aku menggeleng lemah.

"Yakin?"

Baru mau menjawab, tetapi dia keburu turun. Berlari kecil ke tempatku mengemudi. Lantas langsung membuka pintu.

"Kamu enggak apa-apa, yakin?" tanyanya sekali lagi, tangannya terulur mengusap keringat dingin yang ada di dahi.

"Enggak, cuma ..., tadi Fetus bergerak, bikin perut aku sakit."

"Fetus?"

"Ya, maksudku, dia." Mataku melirik ke perut.

"Astaga." Bastian menepuk jidatnya. "Ayo, turun dulu, aku sediain minum," ajaknya.

Aku mengangguk.

Rasanya, setelah kejadian tadi aku tidak bisa berjalan dengan benar. Gamang, hingga tidak bisa bernapas dengan benar.

"Are you really oke, Gi?" tanya Bastian, sambil memapah badanku.

"Fine," suaraku rasanya lemah.

"Yakin? Kenapa tangan kamu dingin begini, mau dibawa ke rumah sakit?"

Aku menggeleng.

"Istirahat aja, di dalem," anjur Bastian.
Jalan ke dalam rumah Bastian rasanya jauh, desisan tidak berhenti keluar dari mulut. Sampai duduk di sofa ruang tamunya.

"Tunggu, ya, aku ambilkan minum."
Aku mengangguk, cowok itu sepertinya bergerak cepat.

Sepertinya sekejap mata kembali.

"Ini, minuman teh di botol."

Dengan senang hati aku menerimanya. Dia juga duduk disebelahku.

"Gimana, mendingan?" tanyanya. Bastian lalu mengusap punggung pelan. "Atur napas, oke? Kamu ingat kan senam hamil yang dua minggu lalu," katanya, aku mengangguk, menurut. Beberapa kali mengulang, lebih baik rasanya. "Gimana? Mendingan?"

Memang, kami sempat hadiri senam hamil. Disela jadwal yang sibuk, sesekali.

Fetus hanya terdiam beberapa menit, dia lalu bergerak lagi, dan seperti tadi, menyakitkan. Aku menahan napas meremas tangan Bastian, cowok itu panik, lantas memeluk dari samping sambil terus mengusap punggung. Dia rasanya ingin melesat keluar, mendobrak perutku atau apa, entah ....

"Nyanyiin dia lagu, Bas."

Dia tak bertanya lagi, kepalanya ditaruh di paha sambil memandang perutku yang membesar.

Fly me to the moon and let me sing among the star

Fetus masih bergerak, tetapi kali ini pelan. Mata Bastian berkaca-kaca, kepalanya masih ada di pangkuan, suaranya mengalun-alun, nyaman.

In other words, please be true
In other words, I love you.

Dia menarik kepalanya lalu menatap penuh arti, air mata terjatuh dari ujung matanya. "I'm going to be a father."

A Love Could Kill UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang