Antara Ingatan dan Keinginan Bastian

7 2 0
                                    

Bab 50

Aigeia

Apa yang sebenarnya ada di pikiran cowok ketika kita bilang perlu 'ruang?'

Mungkin aku juga yang salah bicara? Atau salah meminta?

Di tengah kebingungan itu, demi memahami sikap cowok ketika kita meminta ruang. Aku membentuk milis yang isinya, Bagas, Sigit, Reza dan Donny.

Entah apa tujuannya, aku butuh saran dan diskusi, mungkin mereka berempat adalah tempat yang tepat.

Dimulai dari aku yang mengirim email kepada mereka. Mau tidak mau menceritakan dari awal semua kejadian ketika ingatanku kembali dan meminta ruang.

Huff ... ternyata memang hanya perlu bercerita ke orang yang tepat. Bikin lega.

Bagas: Mungkin Bastian hanya perlu waktu

Reza: Ingatan lo udah balik semua?

Sigit: Dia kalo kebingungan emang begitu. Diam aja

Reza: Gue bantu ngomong lagi sama Bastian. Kalo jemput adek gue ke kantor.

Donny: Syukur kalo ingetan lo udah balik. Tapi lo inget semua hubungan lo sama Bastian, kan?

Semua jawaban dari teman-temannya membuatku mengerutkan dahi.

Reza yang seringnya menjelaskan panjang lebar. Dia membuat seolah semua ini memang penting untukku.

Lama kelamaan, aku tidak tega sendiri, jadi perlahan aku juga menjelaskan semua permasalahan yang aku alami.

Bagas: Apa perlu kita ngumpul, terus bicarakan ini?

Donny: Sekalian aja, minggu depan ada jadwal manggung di Barely. Abis manggung aja kita ngobrol.

Sigit: Jadwal minggu depan belum tentu Bastian ikut. Dia lagi ada audit besar-besaran.

Reza: WHAT?

Donny: Enggak seru! Gue aja usahain waktu disela jadwal padet shooting.

Aku menggigit bibir bawah, tidak mungkin ini terjadi.

Bagas: Bisa izin sebentar kali dari kantor. Doi, kan suka begitu, dia pasti dating. Kemarin latihan juga dateng, kan? Makanya dia nggak pulang.

Gelisah menunggu balasan dari mereka. Ini waktu makan siang dan sebentar lagi pukul satu.

Akhirnya aku mengetik balasan.

Aigeia: Waktu kalian manggung nggak apa-apa aku datang?

Bagas: Ya, harus dateng, dong!

Percakapan itu aku tutup dulu, dengan pamit. Dan mereka pun ternyata sedang istirahat makan siang.

Dua minggu aku dan Bastian saling diam dan akhirnya tidak bertemu. Pertemuan terakhir kita adalah dimalam belanja.

"Terima kasih," itu kata-kata terakhirnya. Yang aku pikir besok harinya dia akan wafat, bunuh diri, atau pergi jauh.

Entah dihari apa, Bastian meninggalkan post it saat aku bangun jam lima pagi.

"Good Morning, enjoy the breakfast!"

Sikapnya membuatku tertekan. Aku merasa bersalah menulis post it itu, dan meminta ruang.

Selain sikap Bastian, perusahaan tempatku bekerja, Tony meminta aku segera menulis artikel. Setelah berulang kali mencoba, gagal dan ditolak. Hubungan kami di kantor dan pribadi tidak bisa disamakan.

Tony kalau sebagai pemimpin redaksi, galak.

Walau begitu, aku masih bisa mengatasinya.

Wajar kalau ada beberapa waktu aku tidak berkonsentrasi apalagi dalam pekerjaan.

A Love Could Kill UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang