Rencana Menikah?

23 4 1
                                    


Aigeia

Kalau aja kemarin kita sangat membenci seseorang, mana tahu kalau sekarang orang itu malah tersenyum lebar mengantar sampai ke depan ruang sidang. Bahkan, dia kasih tips dan cara presentasi yang memikat. Ya, dia melatihku sebelum sidang skripsi ini. Siapa sangka, Papi melakukan hal itu?

"Tumben, lho, Kak, Papi begini, waktu aku lulus-lulusan SMP aja, dia enggak datang," ujar Cindy, sembari kita duduk menunggu di kantin. Setelah aku sidang, menunggu hasil kelulusan.

"Eh, tapi, Kakek ada, 'kan?" celetuk Kakek, dia tidak ingin dilupakan.
Dan ajaib memang, Kakek mengundang khusus juru foto untuk mengabadikan semua ini.

"Yah, mengapa tidak. Kita kumpul semuanya, 'kan, jadi, mumpung ngumpul kita foto-foto," ujar Kakek. Penuh dengan senyuman.

Papi yang biasanya rapi pakai jas, siang ini dia santai dengan kemeja formal tapi tangan panjangnya digulung sampai siku. Dia memang berwibawa, untuk lelaki lewat empat puluh, wajahnya masih seperti pria tiga puluhan. Dan, hal yang baru aku tahu, dia selalu menjaga bentuk tubuhnya, tidak pernah mau kebablasan makan yang bisa menambah lemak berlebihan di tubuhnya.

Lantas, seorang dosen memanggil lewat panggilan SMS agar ke ruangan sidang tadi, untuk pengumuman.

"Ini dia pengumumannya," Aku mengacungkan ponsel. "Ke ruangan itu dulu, ya," pamitku.

"Sana, ikuti dia," suruh Kakek kepada juru foto yang ada.

Aku tak sabar inginnya berlari, kalau Tante Reina mengingatkan. "Hei, ati-ati, jalannya pelan-pelan saja!"

Aku mengacungkan jempol dan tersenyum.

Sesampainya di depan ruang sidang tadi aku mencari nama di papan pengumuman berkaca.

Juru foto itu yang berseru. "Ini dia!"

Aku memandangnya penuh haru, rasanya hari ini lengkap kebahagiaanku, membekap mulut. Tidak percaya tentu saja. Detak jantung seperti berhenti dan sesuatu yang meggelitik di perut. Sekilas menaruh telapak tangan di perut yang mulai buncit.

Aku tahu dia juga bergembira di dalam sana.

"Selamat, ya," ucap juru foto itu, dia menyodorkan tangan, kita bersalaman.
Tak mampu menjawab hanya mengangguk penuh dengan air mata yang menetes.

"Kabarin ke keluarga, oke?"

Lagi-lagi aku mengangguk.
Pelan menuju kantin tempat tadi kita kumpul. Semua orang bergembira, tak kalah tumpah air mataku dengan derasnya, ketika Papi orang yang pertama kali membuka kedua tangannya, memeluk. Mengelus rambut yang dikuncir kuda. Tentu saja, ini pekerjaan Cindy, dadakan sebelum masuk ke ruang sidang, juga bedak dan sedikit lip gloss.   

Si juru foto itu sepertinya mengambil setiap gambar, apa yang kita lakukan juga dia memfoto itu.

"Bagaimana kalau kita rayakan?" usul Papi.

"Setuju!" Riko dan Cindy memekik dengan antusias.

Kami pergi ke restoran mewah, yang katanya langganan Papi, bersuka cita. Tampaknya, kehadiran mereka lengkap, buatku sudah cukup. Aku melupakan Bastian ....

Entahlah, dia hanya bilang kalau hari ini ada pemeriksaan akhir kepalanya. Menentukan kalau tumor di kepalanya hilang atau malah berkembang menjadi kanker.

Disatu sisi nelangsa dan terlalu kepikiran soal itu. Tante Gita, datang menyusul kita semua ketika di restoran, ikut berbaur, bergembira juga.

Nelangsa, dan juga separuh kosong hatiku, menatap ke perut yang membuncit, mungkin banyak berbicara dalam hati, berbicara dengan dia, Fetus. Begitu aku menyebutnya. "Apa, ayahmu menerima kabar buruk sehingga melupakan kita? Menurutmu, sedang apa dia?"

A Love Could Kill UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang