Bukan (Anak) Asing

47 6 3
                                    

(Aigeia)

[Hai, Sien! Sibuk?]

Entah mengapa, tetiba ingin menyapa Sienna malam ini. Mengalihkan perhatian, mungkin.

Hampir satu minggu di rumah sakit, dan Papi selalu menemani kalau malam, sekilas nelangsa. Entah berapa banyak waktu terbuang tidak pernah mengenalnya, tetiba setiap malam harus terusik oleh suaranya. Paling tidak saat di rumah sakit.

Dan kadang sebal ketika dia juga mengenalkan aku ke teman sejawatnya atau ke pegawai yang ada di kantornya. Mba Marni, sekretarisnya, lebih seperti Mama yang selalu bawel soal makan, fasilitas rumah sakit dan lain-lain, meski aku tahu, itu Papi yang suruh.

[Enggak. Apa kabar?] Beberapa saat Sienna membalas.

[Enggak baik. Lagi dirawat di RS.]

[Loh, udah berapa lama?]

[Hampir satu minggu.]

[Istirahat, ya. Gue lagi di Surabaya, engak bisa jenguk. Semoga lekas sembuh! Lo enggak kangen adek gue 'kan?]

[Terima kasih.]

Menghela napas panjang. Aku tidak bisa memikirkan apa pun. Papi masih terjaga di atas sofa, memindah saluran televisi, sesekali sibuk dengan gadget.

Dari diagnosa dokter, aku terkena radang pencernaan, obat-obatan dan serangkaian perawatan makin membuat perut mual. Rasanya makin tidak nyaman, lantas segala kegiatan harus dikurangi, itu kata Tante Reina.

Beristirahat sesampainya di rumah, mencoba memejamkan mata tetapi tidak bisa, selalu terpejam sehabis azan Subuh.

Entah beberapa hari setelah pulang dari rumah sakit. Pagi ini seperti biasa, melatih mata memejam, rasanya belum lama pulas, terdengar ketukan di pintu, membuat terbangun dari tidur.

Kakek, muncul di ambang pintu.

"Bisa ikut Kakek sebentar?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Aku sikat gigi dulu, bisa?" dia mengangguk, masuk ke kamar dan duduk di sofa.

"Bisa kan kamu kurangin kebiasaan tidak sehat?" ujarnya tiba-tiba. Teringat akan asbak penuh dengan abu rokok, belum membuangnya ke tempat sampah. Runyam!

"Maksudnya, kurangin rokok?" tanyaku sinis.

Kakek mengangguk, aku menggeleng.

"Ayolah, kamu masih muda, jangan merusak diri sendiri. Setiap malam kakek lihat jendela kamar kamu selalu terbuka."

Aku—yang sedang mengambil baju di lemari terkesiap. Lalu duduk di sofa kamar, samping kakek memutar badan hingga kita saling menatap.

"Pernah suatu hari—ketika tanding basket. Mama udah meninggal. Aku hanya berharap salah satu orang tua—atau orang yang ikut andil dalam 'membuatku' datang. Bersorak di bangku penonton." Aku menghapus butiran air yang mulai terjatuh. Kakek seperti menegakkan badan mendengar cerita. "Hari itu, tim SMA-ku menang, aku berhasil menyumbang poin terbanyak. Semua anak—berfoto dengan orang tua. Aku, berfoto dengan Tante Nana, mama Natasha. Miris rasanya. Lalu, ketika masuk universitas, aku pupuskan harapan untuk punya 'orang tua'—membuang amarah dengan rokok. Hanya merokok. Dan juga pola makan yang buruk."

Lelaki itu menggenggam jemari. "Maafkan kita, Gei! Kita enggak ada maksud ninggalin kamu, atau membuat kamu sendirian. Sekarang, kita berusaha menjadi tempat terbaik untukmu." Suaranya begitu dalam dan juga gemetar, aku melihat pantulan kaca di matanya. Kakek kadang membiarkan cambangnya—yang putih tumbuh di wajahnya. Hari ini seperti itu, aku suka karena dekat dengannya bau mint.

Namun, tidak bisa menghentikan isakan yang semakin kencang. Enggan berkata apa pun, bertahun-tahun terluka, hati ku terlalu sakit.

"Gini. Hari ini kakek ajarin kamu mengemudi, bagaimana? Kakek kasih kamu mobil lama, tapi masih cukup nyaman. Kata Pak Nurdin, supir kakek begitu. Hehehe!" Dia menghela napas, lantas mengusap ujung matanya.

A Love Could Kill UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang