Nama yang Aman

13 3 0
                                    

Bastian

Sekali lagi dia melirik jam tangan. "Ups, saya hampir kehabisan waktu."

"Apa?"

"Ya, saya harus pergi sekarang," pamitnya.

Dia berlari ke kasir, entah untuk apa. Rasanya tadi masih ada di depan mata. Tapi, sekarang ... dia terbang lagi.

"Eh," gue mencoba menghentikan. Berlari keluar dari kedai ini. Tapi, dia berlalu sangat cepat. Menghilang dalam sekejap mata. Kiri dan kanan hanya ada kendaraan lalu lalang.

"Damned!"

Dan gue ingat tempat dia bekerja. Barely Bar?

Lantas, dengan cepat gue hubungi Bagas. Biasanya dia punya acara di sana.

"Gue udah lama juga nggak isi acara di sana," jawaban Bagas bikin gue kecewa berat.

Gue menghela napas, lelah. Mungkin harus sendirian ke bar itu.

"Kenapa? Ngomong-ngomong lo ada di Jakarta?" tanya Bagas. "Ah, sombong banget pulang dari Singapura bukannya kasih kabar. Ajakin kita makan, kek," sindir Bagas mencerocos.

Mata gue membesar, "Kalian mo makan-makan? Oke, gue traktir di Barely Bar."

"Yakin, ni?" tanya Bagas mungkin hampir nggak percaya.

"Yakin. Gue traktir, sekalian rayain kenaikan pangkat gue. Kumpulin semua anak-anak Dante's."

"Oke, sip, Pak Bos!"

***

Barely Bar gue menunggu teman-teman gue datang. Dan nggak tahu nunggu di pelataran parkir berapa lama, rasanya sampe ketiduran. Terbangun karena ada yang mengetuk kaca jendela mobil, bikin gue terbangun.

"Hai, Rez," sapa gue, sambil keluar dari mobil. Dia yang paling pertama muncul.

"Lo ketiduran?" tanyanya.

"Yup," Reza menyodorkan minuman, air mineral. "Thanks."

"Tumben-tumbenan lo ajakin kita nongkrong di sini?"

"Lo pasti nggak percaya. Gue ketemu Aigeia."

"Apa?"

Habis itu, yang lain datang dan gue bercerita sedikit, tentang Aigeia dan rencana gue datang ke sini.

"Man, dia liat Aigeia, dan katanya kerja di sini, Man," Bagas bikin pengumuman.

"Serius?" sambar Donny. "Gue pikir dia nggak akan balik lagi ke Jakarta."

"Menurut gue lo gila," sambar Reza—yang sekarang jadi dokter. "Kalo elo mau deketin dia lagi. Dia tidak akan se-sadar itu dalam waktu dekat."

"Hei, Man, biar gimana juga kita mesti dukung rencananya," sambar Bagas, sambil menyenggol lengan gue.

"Ya—ya, gue dukung. Karena, karena gue capek dengerin lo merajuk. Terus, gak mau gotong lo lagi pas mabok nyebut-nyebut 'Gia ... Gia ...' lo berat, Men!" kali ini Donny yang bersuara.

Reza mengangguk-angguk, memang kala Gia pergi, Reza lagi selesain S2 di Australia, dan dia dapat beasiswa. Jadi, nggak mungkin ditinggal.

"Sekarang, gantian, Reza jadi penasehat buat Mr. Bas, karena kita udah puas banget dampingin dia. Kalian tahu, kan, sekarang gue urusin anak," rajuk Sigit.

Dan disambut tepukan tangan ringan oleh semua.

"Oke, oke," Reza meminum air mineralnya sambil membulatkan jari jempol dan telunjuk.

Gue dan empat orang teman udah ada di dalam bar. Memesan makanan dan minuman sesuka mereka. Bagas paling banyak makan.

Selama ini gue juga kangen sama anggota Dante's yang lain. Setahun lebih kita nggak ada proyek, manggung atau apa pun. Kangen gue lebih besar ke Sigit yang datang belakangan, maklum aja, dia udah jadi bapak. Izin ke istri lebih sulit dari pada izin dugem ke ortu.

A Love Could Kill UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang