Back to Work

9 1 0
                                    

Bab 49

"Maaf membuat kamu cemas dan terima kasih. Untuk saat ini aku butuh ruang. Bisa, kan aku dapat sedikit ruang itu?"

***

Dering telepon yang keras, membangunkan gue.

Karena kaget, kebingungan sendiri, di mana ponsel gue?

Dan itu ada di saku celana. Kenapa gue sebegitu begonya tadi malam nggak telepon Reza?

Lagian buat apa telepon Reza?

Ah ... sudahlah, malam sudah berakhir, dan yang jelas Aigeia udah nggak ada di ranjang saat gue bangun.

Damn it!

Harusnya, gue yang bangun duluan, tersenyum ke arah dia. Terus ....

Tapi, rasanya nggak mungkin, ingat kejadian tadi malam. Panik, marah jadi satu, entah berapa jam gue ada di dekatnya sampai dia tertidur sendiri.

Mengingat kejadian tadi malam, rasanya gue tersenyum lega. Karena dia akhirnya ingat sesuatu.

Dan kembali ke ponsel yang berdering, nama yang tampil adalah; kantor?

"Bas, pasti lo masih molor," itu suara Bima, gue hafal betul. "Baca email gue nggak, si, tadi malem?"

"Apa?" Ya, gue ingat sekarang, tadi malam ada email kalau hari ini ada .... "Astaga, rapat pre klien?"

"Iya," jawab Bima galak. "Dua jam lagi, lo harus ke kantor dalam waktu satu jam."

Gue menarik napas. Kelamaan libur, bikin males balik ke kantor. "Oke."

Selesai mandi, baru ngeh ada bungkusan nasi di meja makan. Yang gue lihat ada post it di dekatnya.

Post it itu gue baca, sambil mengerutkan dahi.

Ruang? Ulang gue, sambil makan nasi kuning yang dibelikan Aigeia, gue berpikir, apa artinya ruang itu?

Apa gue harus menjauh selama-lamanya?

Atau kita nggak bisa bicara sama sekali mulai hari ini?

Ada rasa takut menyerang. Memang, waktunya gue merelakan dia, tapi semalaman gue berpikir, kenapa nggak gue berjuang sekali lagi?

Sepanjang perjalanan rasanya gue memikirkan soal ruang itu. Sampai di ruang rapat.

"Bulan ini, Pak Bastian ada beberapa klien baru, korporat dan individu," ucap si manajer koordinasi. Kalau dia memang manajer senior.

"Oke," jawab gue sekenanya. Karena ini hampir akhir minggu, jadi, baju yang dikenakan bebas. Tanpa sadar, gue mencoret di dokumen yang gue terima dengan kata, 'ruang'.

Apa ruang yang dimaksud Aigeia?

Rasanya konsentrasi gue pecah, gara-gara kata 'ruang'.

"Apa, si yang cewek mau kalau dia bilang, 'aku butuh ruang'," tanya gue pada akhirnya ketika break meeting. Yang jelas ada orang selain Bima. Anak kantor di sini jail semua. Tapi juga pekerja keras.

Bima yang pertama kali menoleh ke arah gue.

"Sudah pelajari klien kamu, Bas?" tanya Pak Nandi.

"Udah," kata gue enteng. Kenapa dia nanya begini?

Ada Carla yang mengulum senyuman ke arah gue. "Itu artinya dia minta dipahami."

"Salah. Kalo cewek minta ruang, berarti minta putus," cetus yang lain.

"Hah?" Gue mengerutkan dahi. "Putus?"

"Tapi, istri saya kalo begitu, artinya dia mau haid," sambar Pak Nandi.

A Love Could Kill UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang