Accident

63 6 6
                                    

(Bastian)

Segala pertimbangan gue yang dibawa dari Jakarta hingga ke Bali sepertinya sirna. Bayangan yang terburuk pun melintas bak meteor yang berjatuhan dari langit. Menghantam, tetapi gue enggak peduli. Hanya ingin menggapai puncak.

Seperti bentuk yang paling indah mengagumi bentangan raganya. Bagai samudera, menyelami dalamnya hingga hampir habis napas. Namun, keindahannya berhasil menyelimuti dengan kehangatan saling mengisi. Jiwa, hati, raga menyatu dalam naungan kasih tak bertepi.

Berharap ini selamanya. Gue terus menceracau menyebut namanya, tak berdaya ketika ombak itu menghantam, mengantarkan rasa yang belum pernah ada sebelumnya.

Kita, melesat seperti terbang, lalu  melayang, terengah ....

"Tell me, Bas—"
"Apa?"

Gue memutar badan ke samping kiri, mencari wajahnya. Dia juga melakukan hal yang sama, kita saling berpandangan.
"Kamu pernah begini juga sebelumnya?"
Gue menggeleng, membelai pipinya yang masih merah. Walau napasnya mulai teratur. Sengaja menutupi badannya dengan selimut lebih rapat.

"Kenapa? Kamu kecewa?"
"Enggak lagi."
"Maksudnya?" Gue mengerutkan jidat.

"Tadinya aku berpikir akan menolak kamu mentah-mentah. Tetapi, rasanya .... Cintaku lebih besar hingga kalah semuanya."

Gue tersenyum, "Jadi, kamu makin cinta?"

"Enggak tahu!" jawabnya cuek, suaranya tegas dan cepat.

"Serang lagi?"

"Ampun! Badanku masih nyeri." Kita tertawa, tentu saja gue bercanda.
Gue merapatkan badan ke tubuhnya. "Nyaman?" Merasakan kepalanya bergerak naik—turun mengangguk. Aroma vanilanya seperti selalu mencumbu. "Maafin aku." Sedikit penyesalan dan seribu keraguan, apakah ini benar?

"Ssttt ...."

***

"Gia!"

Napas ini memburu, tersentak bangun dari mimpi yang selalu enggak enak. Sempat lupa kalau sebenarnya tidak di rumah. Mata gue, menyapu ruangan, di mana dia, sekaligus mengumpulkan kesadaran di kamar bernuansa putih ini.
Terlalu terburu-buru bangkit dari ranjang lebar, hingga pengar kembali menyerang. Sial memang. Samar masih terlihat angka digital waktu di ponsel, jam delapan.

Kaki ini kembali melangkah ke beranda, menemukan Aigeia di sana, memeluk dengkul. Di selubungi asap yang dia embus dari mulutnya. Enggak suka liat dia merokok seperti itu, walau terlihat tenang memandangi laut dan merokok. Seperti hanya Aiegeia yang punya atau memang satu-satunya cewek yang bisa melakukan hal itu.

Gue menyusul duduk di sampingnya, langsung merebut puntung rokok yang masih menyala dari mulutnya. Membuat cewek langsing itu kaget.

"Bas ...," protesnya. Matanya mendelik, tangannya seperti mau menyambar jari gue yang mencapit batang rokok yang masih membara, secepat kilat menghindar. Tatapannya seperti meminta.

Gue menggeleng, menegaskan 'enggak!'
Dia melengos. Gue melingkarkan tangan di bahunya yang berbalut kaos oblong hijau, bersablon. 'Dante's', sebenermya kemarin kita beli barengan dan samaan waktu di GWK.

"Udah lah, habis berapa?" Dia enggan menatap. "Ayolah ...." Gue menarik dagunya dengan jemari pelan. Menatap matanya yang berlari.

"Cuma tiga batang kok," jawabnya, dia berbohong. Banyak puntung rokok bekas di tempat dia duduk tadi. Gue mencecar, dengan tatapan tajam.

"Haduh, enggak percaya banget!"
Dia seperti panik, dengan gerakan cepat bangkit. Gue menahan tangannya, kuat. Agar enggak kabur.

Menyusulnya berdiri, mengenggam tangannya, saling berhadapan bertukar tatap. "Oke, aku percaya. Lain kali bisa kan, enggak perlu banyak begitu. Hm?"

A Love Could Kill UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang