Pengkhianatan

29 2 1
                                    


Bastian

Gue memberi tanda ke arah Sienna. Mengulang-ulang tangan mengibas di leher, udah kecapekan.

Sienna masih dikelilingi keluarga yang mengobrol dengannya. Tapi, dia terlihat benar-benar lihat ke arah gue. Obrolannya dengan salah satu kakak Ambu paling terkenal julidnya berhenti. Dan berdiri setengah berlari menghampiri gue.

Masih di acara Sandra, resepsi resminya selesai sore, Sandra khusus mengadakan acara buat teman-teman dekat dia dan suaminya. Kalau Ambu, Ayah dan mertua Sandra masih di sini, hanya beramah tamah. Tamu undangan mereka sudah semua datang tadi sore.

Konsepnya pesta buat anak muda, isinya musik yang dimainin DJ bergantian dengan band pengisi acara. Makin semarak karena lampu yang otomatis berganti-ganti warna. Dan tamu undangan yang menari-nari di depan panggung.

Nggak tahu gimana, udah kecapek-an dari tadi. Atau memang tumor itu balik lagi? Jadi akhir-akhir ini gampang capek?

Atau karena di rumah aja, hampir beberapa minggu? Nggak olah raga apa-apa.

"Naik aja ke kamar," kata Sienna setela memeriksa pergelangan tangan, "nanti gue yang jelasin ke Ambu lo ke atas duluan," Sienna mencerocos sambil menggenggam tangan.

"Oke, thanks," jawab gue.

Memang kepala sakit, nggak bisa gue tolerir lagi rasanya. Tapi, nggak bisa mengabaikan ponsel yang bergetar di saku celana.

Nama penelepon Reza

Dada gue berdebar keras. Ada apa di Jakarta? Harusnya dia jemput Aigeia.

"Kenapa, Za?" tanya gue langsung. Masuk ke lift lemas, gue harap sinyalnya nggak hilang.

"Aigeia tadi gak ada di Barely. Gue langsung minta Anin susulin ke apartemen lo. Tapi gak ada yang buka pintunya."

Duh! Panik. Tapi, pelan-pelan gue tahu harus tenang. Jadi, sambil nunggu lift sampai, gue menarik napas, lalu mengembuskannya. "Masuk aja, kodenya 1332."

"Oke," jawab Reza. "Nin, kamu dengar, kan?"

Ternyata Reza langsung tersambung dengan Anin.

"Nggak di sini, Za," jawab Anin beberapa saat kemudian.

Jantung gue langsung mencelus. "Gimana bisa? Lo liat barang-barangnya masih ada?"

Kenapa gue jadi parno begini?

"Barang-barangnya masih ada di kamar dia," jawab Anin. "Ada tempat yang biasa dia datengi mungkin? Tadi kata temannya di Barely, Aigeiaizin karena tapi dia lebih kelihatan kebingungan semacam itu."

"Di atap!" Nggak tahu hanya jawab kemungkinan yang gue tahu. "Lo bisa naik lift sampai lantai dua belas, abis itu ada tangga penghabisan. Lo harus naik tangga sampai ke atap."

"Oke, gue ke sana dulu. Nanti gue kabari, masuk lift nggak akan ada sinya," kata Anin.

Paling nggak, gue tahu Anin dan Reza akan membantu gue malam ini.

"Oke," sahut Reza.

"Apa gue perlu pulang sekarang?" tanya gue khawatir, ketakutan. Tapi, nggak tahu apa yang gue takutin? Jelas banget Reza dan Anin bisa menangani semua ini.

"Gak, Bas, gue masih di jalan dari bandara, susulin Anin. Gue udah bilang tunggu di apartemen. Kalo emang Aigeia sakit, dia bermalam di apartemen Anin aja, malam ini adiknya tugas di luar kota," papar Reza tenang.

Beberapa saat gue menunggu gelisah, sambil duduk di tepian ranjang.

"Ini Anin lagi," ucap Reza di sambungan telepon. "Gimana, Nin?"

A Love Could Kill UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang