Nikah?

24 4 2
                                    

Bastian

"Bas, udah bangun, 'kan?" Itu Sienna. Dia nyelonong masuk ke kamar.

Bukannya bangun lagi, dari malam tidak bisa tidur. Memikirkan reaksi Ambu membertitahu tentang Aigeia yang hamil. Kakak terbesar itu, tidak pakai bertanya apa-apa, dia duduk di pinggiran ranjang, menatap gue dalam diam.

"Kemarin Aigiea gue periksa lagi, hasilnya sudah bagus."

Gue beringsut bangun, sambil menghela napas. Akhir-akhir ini memang Aigeia jarang ke rumah, seminggu paling enggak dua atau tiga kali paling sering. Sienna bilang dia harus istirahat total. Komunikasi dengan dia juga terhambat, entah mengapa, mata gue mungkin yang kadang cepet pedih ketika memandang layar ponsel. Kadang SMS atau dia telepon enggak selalu dibalas.

"Terus masalah Ambu gimana?"

"Kita bicara sekarang," timpal Sienna.

Sebenarnya ketika mau bicara pun hati udah mencelus duluan. Lalu, berjalan ke lantai bawah penuh dengan perasaan bersalah, Ambu dan Ayah yang mati-matian membiayai berobat gue, kayak enggak tahu diri aja, tiba-tiba bikin hamil anak orang.

"Tumben, turun, Bas?"

Yah, selama ini enggak pernah turun buat makan, rasanya malas, dan naik—turun tangga bikin pengar.

"Udah Ambu bilang, pindah aja dulu ke kamar tamu," timpal Ambu, pagi ini dia udah rapi mau berangkat kerja.

Sejak gue sakit orang tua seperti sibuk lagi bekerja. Namun, enggak menyalahkan sakit juga. Sejak gue sakit juga, Ayah lebih perhatian, sering negor, main ke kamar atau ngobrol. Tetapi, kalau aja gue kasih tahu tentang Aigeia, enggak tahu bakalan kayak apa.

"Bastian mau bicara, Mbu, Yah," kata gue lagi. Enggak mungkin sekarang menyerahkan semuanya ke Sienna. Dia udah cukup mengurusi Aigeia.

"Ada apa? Apa kamu mau cari kerja, seperti yang kemarin kamu bilang?" tanya Ayah, langsung. Sarapannya sepertinya sudah selesai. Isi piringnya kosong.

Gue tersenyum kecut.

"Ayah, teh, gimana? Jaitan kepala aja masih suka sakit, masa iya mau kerja," timpal Ambu.

"Mungkin iya, Bastian mau kerja, Mbu, meski bantu-bantu Ayah, kayaknya enggak apa-apa," ujar gue.

"Tapi, sayang, lho, Bas, di perusahaan Ayah lagi kurangin pegawai. Kamu tahu sendiri, 'kan, karena kemarin butuh biaya dan juga orderan menurun, Ayah jadi melakukan efisiensi untuk pegawai."

Lagi-lagi, gue menunduk, setengah kecewa, mau enggak mau nanti cari pekerjaan yang lain.

"Kamu enggak apa-apa, Bas?" tanya Ambu kali ini. 

Gue menggeleng. "Ayah, Ambu, Aigeia hamil, dan itu anak Bastian."

Gue menghitung berapa lama mereka terdiam hingga akhirnya Ayah mendengkus. Ambu tetiba yang serba salah, meminum air mineral yang ada di meja. Lantas mengambil napas yang kelihatannya terlihat sulit. Wajahnya berubah pucat.

"Ambu enggak sangaka, kamu begitu, Bas," ujarnya.

Gue bersiap meraih tangannya, meminta maaf. Tetapi enggak keburu, dia terlanjur jatuh.

Serta merta semua orang menghampiri dan juga memekik.

Mana sangka reaksi Ambu sampe sebegininya.

Praktis kejadian ini membuat kita semua khawatir sama keadaan Ambu. Dia kecapekan, jelas aja dan stress. Sedikit banyak karena gue, 'kan?

Ayah yang terlihat sangat lelah dan juga bingung selama di rumah sakit. Meski, dokter bilang enggak ada yang perlu dikhawatirkan, selain Ambu harus banyak istirahat.

A Love Could Kill UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang