Part 1

3.7K 375 23
                                    

Tujuh belas tahun kemudian.

Senin pagi, lalu lintas di ibu kota benar-benar padat merayap. Tinggal lama di pusat kota membuat Liliana harus terbiasa dengan kemacetan di sepanjang jalan yang di laluinya. Untungnya pagi ini, ia tidak menerima ajakan Vicko, rekan kerja yang mengajaknya berangkat bersama dengan mobilnya. Jika iya sudah di pastikan dirinya masih terjebak macet di tengah padatnya kendaraan.

Ponselnya berbunyi, gadis dengan setelan kerja itu berjalan dengan terburu-buru memasuki gedung perkantoran sambil merogoh ponsel yang ada di dalam tas kerjanya.

"Lo dimana? Tumben banget jam segini belum dateng?"

Suara wanita di seberang panggilan langsung menusuk indera pendengaran begitu ia mengangkat sambungan.

"Ini lagi jalan masuk, bawel."

"Buruan Ly, bentar lagi Pak Direktur kita yang baru dateng. Jangan sampe lo ketahuan telat, Bu Irna bisa ngamuk nanti sama lo."

"Iya-iya astaga." Gadis bernama Liliana itu mendesah putus asa. "Ini juga udah sampe kok." Ia lalu mempercepat langkah sesaat setelah menutup panggilan itu. Hatinya kesal pada keterlambatannya yang tidak biasa. Mengapa disaat ada momen kedatangan bos baru mereka, dirinya malah terlambat datang? Dasar bodoh.

Memasuki pintu kaca, Liliana kemudian berlari menuju lift, namun suara panggilan seseorang menghentikannya.

"Neng Lily!"

Liliana menoleh, salah seorang security yang ia kenal bernama Bidin mendekatinya.

'Mampus, apa aku mau di suruh balik lagi?' Liliana menggumam takut.

"A-ada apa ya Pak?" tanya Liliana pada pria paruh baya itu.

"Neng Lily mau kemana?"

"Ya, ke ruangan saya lah Pak. Bapak nih pertanyaannya lucu. Dah ya Pak, saya nggak bisa ngobrol lama." Liliana melambai buru-buru, kali ini ia benar-benar tidak bisa beramah tamah sebagaimana biasanya.

"Eh Neng, tapi sekarang seluruh karyawan di suruh kumpul di aula." Suara Pak Bidin kembali menghentikan langkah Liliana.

Gadis itu menoleh lagi dengan kerutan samar yang terbentuk di dahinya.

"Pak Aldrick mau datang. Buruan dandan yang cakep, yang lain udah pada menor-menor noh."

Wajah Liliana seketika berbinar. Cengiran lebar sontak menghiasi bibirnya sebelum berkata. "Ih bapak bisa aja deh. Makasih infonya ya Pak. Bye Pak Bidin."

Tanpa menunggu jawaban, Liliana segera melesat ke aula. Jantungnya bertaluan cepat di setiap helaan kakinya. Akhirnya setelah tujuh belas tahun berlalu, kesempatan untuk kembali bertemu dengan pria itu akan ia dapatkan. Hal ini jugalah yang menjadi alasan mengapa ia tidak bisa tidur semalam hingga dirinya terlambat bangun keesokan paginya.

"Untung lo udah datang," kata Chika, rekan satu divisinya yang tadi meneleponnya.

"Kamu kok nggak ngomong sih kalo kita ada briefing?" Liliana menatap kesal temannya itu.

Chika mengembuskan nafasnya gemas. "Tadi gue udah mau ngomong, lo main nutup telepon aja."

Liliana meringis sebelum mengangkat lengannya untuk mengecek arloji. Pukul delapan lewat sepuluh menit. Ia lalu menyapu pandangan, memperhatikan satu persatu karyawan maupun karyawati yang membentuk kerumunan di sekitarnya. Semuanya sedang rapih-rapih diri, tidak terkecuali Chika yang kini sibuk menyisiri rambutnya dengan jemari.

"Eh Ly, lo bawa sisir nggak?" tanya gadis mungil itu.

Liliana menggeleng-geleng namun ia tetap memberikan sisirnya pada Chika.

Belahan JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang