Sambil mengusap perut, Liliana kembali memeriksa laporan tersebut. "Yang ini bener, ini juga bener kok." Usai mengetuk-ngetuk bolpoin ke dagu lalu ia mengacak rambutnya dengan kesal. "Aish, sebenarnya mana sih bagian yang salah?"
Tak lama kemudian ponselnya berbunyi. Vicko yang meneleponnya.
"Iya Vic?"
"Kamu masih belum selesai?"
"Belum," jawab Liliana sambil menghela nafas dengan berat.
"Coba kamu fotoin laporannya, nanti biar aku bantu koreksi dari sini."
Penawaran Vicko membuat mata Liliana melebar. "Beneran?"
"Iya, buruan. Oiya kamu mau makan apa, nanti biar aku nyuruh OB untuk kirim makanan ke ruanganmu."
"Kamu baik banget sih, makas--."
"Ehem. Apa dengan telepon-teleponan kerjaan kamu akan selesai?"
Sindiran Aldrick seketika memotong ucapan Liliana, hingga dengan reflek ia menutup sepihak panggilannya.
"Eh Bapak, kok tahu-tahu ada disini Pak?" Liliana mengusap dadanya sembari meringis malu.
"Kenapa, malu udah ketahuan telepon-teleponan bukannya kerja?" Aldrick bersedekap di depan meja Liliana sembari menatap gadis itu dengan menegur.
Liliana mengerjap-ngerjapkan matanya. "I-ini juga baru kok Pak. Lagian kan sekarang waktunya makan siang," kilahnya sambil tersenyum manis, berharap pria itu akan bermurah hati.
Sesaat Aldrick terbungkam. Tapi tetap ia tidak mau di sudutkan. "Alasan aja kamu. Lagian suruh siapa kamu kerjakan satu laporan aja salahan terus?" Sembari menaikkan kedua alisnya, ia menambahkan. "Sudah cepat kembali bekerja, sebelum saya menambahkan daftar tugasmu yang lain."
Liliana hanya mengerjapkan matanya, menahan kesal. Begitu pria itu sudah melangkah menuju ruangannya, lidah Liliana terjulur kearah bosnya itu.
"Pantas aja si Kay lebih milih Aryan dari pada dia. Nyebelin gitu abisnya."
Ya, Liliana sudah mendengar kabar itu. Sebenarnya ia merasa kasihan pada Aldrick mengingat pria itu sudah menyukai Kaysha dari mereka masih sama-sama kecil. Tapi jika di pikir ulang akan sikap pria itu yang masih sebenyebalkan dulu, Liliana tidak merasa heran jika Aldrick tereliminasi.
Tanpa sadar Liliana meremas-remas berkas dokumen diatas mejanya.
"Baiklah Lily, seharusnya kamu tidak perlu terkejut dengan sikapnya itu. Bukannya sejak dulu dia memang sangat menjengkelkan?" Liliana menarik nafas, demi meredakan kesal yang memenuhi dada. "Sabar Lily, sabar ... ini tinggal selangkah lagi kamu bisa bertemu dengan Papa dan Mama."
Tapi detik berikutnya.
"Astaga apa yang sudah aku lakukan?" Ia memekik terkejut begitu mendapati laporan yang susah payah ia kerjakan kini malah mengenaskan bentuknya.
***
Esoknya.
"Astaga Ly, jalan lo kayak orang di tagih utang tahu nggak? Gue panggil-panggil dari tadi juga, bukannya berhenti malah terus aja." Chika merangkul lengan Liliana, berusaha menyeimbangi langkahnya.
"Sorry Chik, aku buru-buru." Liliana cepat-cepat melepaskan diri hanya untuk mengejar lift yang hendak menutup.
"Yah tuh kan keburu nutup liftnya," gerutunya dengan kecewa begitu melihat lift itu sudah tertutup dan bergerak naik.
"Yaelah, masih lama juga masuknya. Buru-buru banget, sombong bener yang udah jadi sekertaris bos."
Sambil memeluk file holder, Liliana menghembuskan nafasnya. "Bukan gitu, soalnya ada yang harus aku kerjakan pagi-pagi banget," sahutnya sambil terus mengawasi angka di dinding lift.
KAMU SEDANG MEMBACA
Belahan Jiwa
Romance"Lily ... masih mau jadi adik Kak Al." "Kamu memang adikku kan? Dan selamanya akan selalu begitu. Percaya sama kakak, kakak tidak akan membiarkan mereka membawamu lagi." Kenyataan tragis perihal status sebenarnya membuat kedua insan kecil itu harus...