"Kita ... kita tidak pernah saling mengenal bukan?" tanya Aldrick dengan wajah muramnya.
Tangan Liliana mengepal. Sekuat hati ia menekan kesedihannya. "Tentu saja enggak, lagi pula gimana ceritanya gadis miskin seperti saya bisa mengenal Tuan muda dari keluarga Bramantha. Anda nih ada-ada aja." Kekehan kering meluncur begitu saja dari celah bibirnya yang bergetar.
Aldrick menatap sekertarisnya itu dengan nanar. Sejak pertama kali melihat Liliana, ia merasa wajah gadis itu begitu familiar, sehingga ia merasa yakin jika ia pernah mengenal gadis itu sebelumnya. Tapi dimana? Mengapa tidak ada satu memory pun yang mampu di ingatnya. Semua data diri Liliana bahkan sudah berhasil ia kantongi tapi tak ada satu pun petunjuk yang menghubungkan antara dirinya dan Liliana pernah bertemu di masa lalu. Saking penasarannya dengan gadis itu, Aldrick sampai merekrut Liliana menjadi sekertaris pribadinya. Hal itu bermaksud demi mengobati rasa penasarannya kepada gadis itu sejak awal mula pertemuan mereka.
***
Liliana tengah membereskan meja kerjanya, bersiap untuk pulang ke kost-annya ketika Aldrick mendatanginya tiba-tiba.
"Kau sudah selesai?" tanya pria itu.
"Sudah." Liliana menjawab dengan wajah kesalnya. "Bapak mau memeriksanya dulu?" tanyanya dengan nada menantang.
Aldrick tersenyum tipis. "Nggak, besok lagi aja. Sekarang lebih baik kamu pulang dan istirahat. Ini sudah malam."
Sudah malam?
Yeah memang betul, sekarang sudah pukul delapan malam. Itu artinya Liliana sudah melembur tiga jam. Dan hal itu terjadi bukan atas kemauannya melainkan atas perintah Aldrick yang menginginkan semua pekerjaan itu selesai di hari ini juga. Padahal jika saja siang itu dirinya tidak di ajak meeting di luar, Liliana mungkin sudah menyelesaikan pekerjaan itu sebelum jam pulang kantor tiba. Sungguh, Liliana merasa sedang di kerjai oleh atasannya itu, sebab faktanya Mr.Adam tidak pernah datang menemui mereka. Tidakkah ia hanya membuang-buang di café itu?
"Ternyata, Anda punya hati juga," gumam Liliana dengan pelan.
"Kamu ngomong apa?"
"Eh, nggak kok Pak." Liliana menyengir.
"Ya sudah cepat, aku akan mengantarmu pulang."
Liliana yang tengah menyusun file holder di kabinet sontak tertegun mendapatkan tawaran itu, terlebih kini pria itu mulai menyebutnya aku bukan saya sebagai mana biasanya. "Eh, nggak usah Pak. Anda duluan aja. Saya biasa pulang sendiri kok."
"Ini sudah malam, kalo sampe sesuatu terjadi sama kamu di jalan, aku juga nanti yang repot." Aldrick menimpali dengan nada datarnya.
Liliana mengerjap, dia tidak mungkin salah dengar kan? Pria itu sudah dua kali menyebut dirinya aku.
"Sudah cepat berkemas, waktuku nggak banyak." Sembari mengecek arloji, Aldrick menambahi yang langsung membuat Liliana terhenyak.
Ketika melihat Aldrick sudah melangkah kearah lift, Liliana meleletkan lidahnya. "Waktuku nggak banyak? Terus ngapain ngotot pengen anterin aku?" gerutunya pelan seraya mengejar lift yang hampir menutup.
***
"Ini kost-kostan kamu?" tanya Aldrick pada Liliana begitu mobil yang ia kendarai tiba di depan sebuah pagar besi yang bagian dalamnya terdapat bangunan memanjang dengan banyak pintu.
Liliana mengangguk. "Uhm, makasih ya Pak udah anterin saya pulang. Mari Pak, saya duluan."
"Aku nggak keberatan kalo kamu nawarin aku coffee."
Ucapan Aldrick menghentikan gerakan Liliana yang hendak menarik handle pintu. "Tapi ... saya nggak punya coffee Pak? Lagian saya nggak biasa ngopi." Ia terkikik, dalam hati merasa lega, memiliki alasan untuk mengusir Aldrick.
KAMU SEDANG MEMBACA
Belahan Jiwa
Romance"Lily ... masih mau jadi adik Kak Al." "Kamu memang adikku kan? Dan selamanya akan selalu begitu. Percaya sama kakak, kakak tidak akan membiarkan mereka membawamu lagi." Kenyataan tragis perihal status sebenarnya membuat kedua insan kecil itu harus...