Part 10

1K 237 3
                                    

Keesokan harinya, sopir pria itu menjemputnya di kost-kostan lalu mereka benar-benar berangkat ke Bali dengan menaiki pesawat pribadi milik keluarga Bramantha. Terakhir kali Liliana naik pesawat pribadi adalah ketika ia masih menjadi bagian dari keluarga itu. Berada dalam pesawat satu jam lamanya membuat ingatan lama itu kembali hadir di benak Liliana. Ia ingat ketika kecil dulu ia dan Aldrick sering berlarian di dalam pesawat dan biasanya jika itu terjadi Fellicia akan memarahi keduanya untuk duduk. Fellicia kendati sangat cerewet tapi Liliana tahu wanita itu begitu menyayangi anak-anaknya.

Liliana tersenyum miris lalu membuang pandangannya pada jendela pesawat bersamaan dengan air matanya yang jatuh. Semua kenangan indah itu kini terasa begitu menyakitkan baginya. Dengan kasar ia menyeka wajahnya sebelum orang lain memergokinya menangis. Tapi sayangnya ia kurang cepat lantaran Aldrick sudah lebih dulu melihatnya.

"Kamu kenapa menangis lagi?"

Pertanyaan Aldrick menyentak Liliana, gadis itu terkejut ketika mendapati Aldrick tiba-tiba sudah duduk di depannya. "Anda ... sejak kapan Anda disitu?" pekiknya. "Bukannya tadi Anda bilang mau istirahat di kamar?"

"Aku berubah pikiran." Aldrick masih menatap Liliana dengan penuh selidik. "Kamu belum jawab pertanyaanku, kenapa kamu menangis?" tanyanya sekali lagi.

Liliana ternganga dengan mata mengerjap-ngerjap sebelum berdeham pelan. "Itu bukan urusan Anda," sahutnya sambil membuang muka, bodoh amat jika setelah ini ia akan di pecat. Toh itu yang ia inginkan.

Aldrick tersenyum miring. "Kenapa, lagi marahan sama pacar kamu itu?"

"Pacar? Siapa?" Liliana menatap Aldrick dengen mengernyit.

Aldrick berdecak. "Si manager keuangan," tekannya dengan gemas.

"Vicko?"

"Iya itu." Sambil melipat lengan, Aldrick menatap tajam Liliana.
"Bener kan dia pacar kamu?" Ulangnya dengan nada yang terdengar cemburu.

Tetapi Liliana yang memutar matanya tidak menyadari itu. "Ya bukan lah, kan udah di kasih tahu. Dia cuma temen." Kesal Liliana menatap bosnya itu.

Aldrick tersenyum miring. "Kamu pikir aku percaya sama pertemanan antara pria dan wanita?"

Liliana mengernyit. "Yaudah kalo memang nggak percaya. Memang kami cuma temen kok."

"Pertemanan antara pria dan wanita itu bulshit jika tanpa melibatkan perasaan di dalamnya!" Aldrick menekan kalimatnya.

"Ciye, pengalaman ya Pak?" Liliana mengulum senyum.

Wajah Aldrick seketika terlihat kaku. Tapi ia menutupinya dengan memalingkan wajah. "Jangan sok tahu kamu."

Liliana menahan senyum dengan lipat bibir atasnya kedalam. Ternyata lucu juga respon Aldrick ketika dirinya merasa terpojok. Rasakan! Sekali-kali menang debat dari alumni Harvard kan tidak apa-apa?

Tapi tunggu dulu, dari mana Aldrick tahu dirinya dan Vicko sempat cekcok? Apakah mungkin Aldrick sempat melihat pertengkaran mereka tadi pagi? Tapi kan itu terjadi juga gara-gara dia. Perintah untuk menemani pria itu ke Bali di tentang keras oleh Vicko yang mengkhawatirkan Liliana. Tapi karena Aldrick-lah yang memegang kuasa, tentu keduanya tidak dapat melakukan apa-apa untuk menentang perintah tersebut.

***

Usai menemani Aldrick meninjau langsung pembangunan resort. Pria itu kemudian mengajak Liliana ke Villa milik keluarganya untuk beristirahat. Liliana teringat itu adalah villa yang sama--tempat dulu mereka menginap ketika berlibur di Bali. Dulu, biasanya ketika libur sekolah Regan Bramantha akan mengajak keluarga mereka berlibur disana hanya untuk sekedar menikmati keindahan pantai yang terletak di belakang Villa.

Belahan JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang