Part 8

932 231 12
                                    

Usai kembali dari toilet Liliana di kejutkan dengan kemunculan seseorang yang sudah lama ia rindukan sosoknya. Ia termangu menatap Fellicia yang juga nampak terkejut melihatnya.

"Lily?"

Panggilan bernada lembut itu membuat Liliana ingin menangis.

"Kamu beneran Lily?" tanya wanita paruh baya itu yang masih terpekur di depan pintu ruangan Aldrick.

Liliana mengangguk seiring dengan air mata yang mulai bermunculan. "Iya Ma," sahutnya dengan suara bergetar.

Sesak seketika memadati dadanya begitu mengetahui bahwa Fellicia--wanita yang dulu pernah menjadi mamanya itu kini masih mengenalinya.

Fellicia tersenyum lembut, perlahan kakinya terhela menuju Liliana. Tapi saat kesadaran menguasainya, langkah Fellicia seketika terhenti. Tidak, gadis di hadapannya itu bukanlah darah dagingnya. Justru karena Liliana lah ia telah kehilangan putrinya yang sesungguhnya dan karena Liliana jugalah belasan tahun yang lalu ia nyaris kehilangan Aldrick.

"Kamu ... sedang apa kamu disini?" tanya Fellicia dengan nadanya yang tak selembut tadi.

Senyum sontak meninggalkan wajah Liliana. Sikap dingin dan nada bicara Fellicia yang tak kalah dinginnya membuat Liliana teringat pada masa lalu mereka.

Tapi sebelum ia sempat menjawab, pintu ruangan Aldrick menjeblak terbuka.

"Loh Mama masih disini?" tanya Aldrick, menatap sang mama dengan heran.

Fellicia menoleh ke putra sulungnya itu dengan menampilkan senyum demi menutupi kemuraman hatinya. "Mama lupa ingin menyampaikan sesuatu sama kamu. Nanti malam pulangnya jangan telat ya, soalnya Mama mengundang keluarga Sarah ke rumah."

Aldrick mengangguk pelan dengan wajah datarnya. "Oke." Ia lalu menoleh kepada Liliana yang tengah menunduk, menyembunyikan wajah sedihnya. "Oiya Ly, ini Mama-ku. Dan Ma, dia Liliana sekertaris baruku."

Fellicia menutupi keterkejutannya.
Memang ketika Fellicia datang ke kantor, Liliana sedang ijin pergi ke toilet. Dan karena kemungkinan mereka akan sering bertemu, maka Aldrick memperkenalkan keduanya.

Liiana lebih dulu mengusapkan ibu jarinya di sudut mata sebelum mengangkat wajahnya. Sejenak, ia menatap Aldrick dengan nanar. Jika Fellicia saja bisa mengenalinya, lantas mengapa Aldrick tidak? Apakah Aldrick sedang bersandiwara selama ini?

"Oh kamu sekertaris baru Al? Salam kenal, saya Fellicia, mamanya Al." Fellicia mengulurkan tangan sembari tersenyum ramah. Bersikap seolah itu adalah pertemuan pertama mereka.

Liliana menatap uluran tangan wanita itu dengan kesedihan yang tidak ia tampakkan di hadapan keduanya.

"Salam kenal juga, Nyonya. Saya Liliana." Liliana menyambut uluran tangan Fellicia sambil merundukkan kepala untuk kembali mengecup punggung tangan wanita paruh baya itu--setelah sekian lama.

Fellicia membeku, tatapannya melembut tapi begitu Liliana mendongak, wajah Fellicia sudah mengeras kembali. Ia bahkan dengan kasar menarik tangannya yang masih berada di genggaman Liliana.

"Oke, Mama pulang sekarang ya," kata Fellicia kepada Aldrick yang terpekur, menyaksikan.

"Aku, anter Ma." Aldrick mengejar wanita yang telah melahirkannya itu setelah bersitatap lama dengan Liliana.

Ketika ibu dan anak itu sudah memasuki lift dan kotak besi itu sudah bergerak turun. Liliana membiarkan air matanya terjatuh. Kesedihan ketika mendapati sikap dingin Fellicia yang tidak berubah dari terakhir kali mereka tinggal bersama membuat hatinya terasa sesak.

"Tolongin Lily, Ma. Pria itu mau bawa Lily pergi. Lily takut," kata Liliana kecil seraya terisak keras, memeluk pinggang Fellicia yang tatapannya terlihat kosong.

Belahan JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang