"Tidak apa-apa." Fellicia termenung. "Sudah lama rasanya tidak mendengar keluhan tentangnya."Liliana tercenung, sejak kecil Aldrick memang banyak di senangi oleh orang. Selain rupawan, pria itu juga memiliki otak yang encer dan juga terkenal rendah hati. Dulu saat berada di sekolah yang sama, seringnya Liliana merasa minder jika orang-orang membanding-bandingkannya dengan Aldrick yang selalu mendapatkan juara umum di sekolah. Malah demi bisa merusak citra sempurna tentang Aldrick, Liliana sering mengarang-ngarang cerita mengenai mantan kembarannya itu agar orang-orang ilfeel. Tapi sayangnya tidak ada satupun yang percaya dengan ceritanya. Sialan!
"Apakah orang tua kandungmu sudah menceritakan kejadian sebenarnya padamu?"
Pertanyaan tiba-tiba itu mengentak kesadaran Liliana. Ia menoleh ke Fellicia yang pandangannya tertuju ke laut lepas.
"Tujuh belas tahun yang lalu, aku terkejut saat ayah kandungmu datang ke rumah kami dan menyampaikan kabar perihal tertukarnya putri mereka dengan putri kami." Fellicia melanjutkan dengan wajahnya yang terlihat begitu sedih. "Aku sendiri mulanya tidak percaya, tapi begitu serangkaian test menunjukkan bukti kalau kamu memang benar bukan putri kami. Mau tak mau aku harus menyerahkanmu pada mereka," ungkap Fellicia.
Liliana menunduk, terlalu sakit rasanya di ingatkan lagi pada kenangan itu.
"Terlebih saat itu aku benar-benar marah pada orang tuamu yang tidak bisa menjaga putriku dengan baik. Sementara kami menjagamu begitu baik, dengan lalainya mereka malah melayangkan nyawa putri kamu."
Liliana sudah tahu cerita itu. Orang tuanya yang menceritakan kisah itu padanya ketika awal-awal ia masih menangisi perpisahannya dengan keluarga Bramantha. Dan sejak saat itulah, Liliana di paksa untuk mengerti dengan keadaan. "Saya mengerti perasaan Anda Nyonya. Anda ... Anda pastinya sekarang sangat membenci saya, kan?"
Fellicia membeku, tatapan Liliana yang penuh kesedihan membuatnya ingin sekali memeluk gadis itu. Tapi kebenciannya pada orang tua Liliana membuat Fellicia harus menahan keinginannya kuat-kuat. "Putriku meninggal, karena orang tuamu Liliana. Dan setiap kali melihatmu hatiku sakit. Kamu selalu mengingatkanku pada betapa kejamnya takdir yang Tuhan berikan untuk putriku." Ia lalu berpaling senada dengan air matanya yang jatuh.
Kata-kata itu melukai hati Liliana. Ia tersadar hubungan diantara mereka sudah tak seperti dulu. Wanita itu bukan lagi mamanya yang akan memeluknya tiap kali ia menangis, kini ia tidak lebih dari seorang penoreh luka yang kehadirannya tak lagi di harapkan oleh wanita paruh baya itu.
Ia menunduk hanya untuk menutupi wajah sedihnya. "Kalau begitu, Nyonya jangan khawatir, karena kali ini saya akan benar-benar menghilang dari kehidupan kalian, Nyonya. Maaf jika kehadiran saya membuat Anda mengingat luka itu," ucapnya sebelum ia mengangkat wajah dengan senyum yang sudah terbingkai di sana.
Fellicia tertegun, sejenak merasa tidak tega, tapi ia menebalkan hatinya kembali di detik berikutnya.
"Bujuk Al untuk kembali ke Jakarta, setelah itu pergilah sejauh-jauhnya dari keluarga kami."
***
Liliana termenung di meja dapur, kepalanya di penuhi oleh pembicaraannya dengan Fellicia tadi sore. Setelah memintanya untuk membujuk Aldrick, Fellicia akhirnya pulang ke Jakarta dengan menaiki satu helicopternya. Kini Liliana kebingungan bagaimana caranya membujuk Aldrick untuk pulang. Bukankah pria itu keras kepala? Tapi lebih dari itu, Liliana sedang membayangkan dirinya harus kembali hidup berjauhan dari pria itu. Andai tahu rasanya akan seberat ini, mungkin sebaiknya mereka tidak usah bertemu sejak awal.
"Oh jadi dari tadi kamu lagi asik berkirim pesan dengan si Vicky-Vicky itu?"
Tiba-tiba ponsel yang tadi digenggamnya kini beralih ke tangan Aldrick. Parahnya, ia lupa menutup ruang chat-nya dengan Vicko sejak beberapa menit yang lalu lantaran keburu melamun.
"Astaga, ngagetin aja." Liliana berdiri sambil mengelus dadanya yang terkejut.
"Makanya jangan melamun! Lagi mikirin pria itu? Kenapa, udah kangen?" sindir Aldrick dengan nadanya yang terdengar tidak senang usai membaca isi chat-nya dengan Vicko.
Liliana mengembuskan napas. "Kalau iya memang kenapa?" Usai menyambar ponselnya, ia lalu menatap Aldrick dengan menantang.
Raut Aldrick semakin masam. "Jadi kamu benar-benar menyukai pria itu?"
Liliana mengerjap. "I-iya. Kenapa memangnya?"
Rahang Aldrick menegang. Sambil menatap tajam, ia menutup jaraknya dengan Liliana. "Lalu ciuman kita yang tadi siang itu apa artinya?"
Jika ciuman yang semalam, Aldrick tidak mempermasalahkan mengingat Liliana sedang tidak sadar ketika menciumnya. Tapi untuk yang di pantai, meski gadis itu tidak membalasnya tapi Liliana menerima ciumannya.
"Bukankah, Anda yang telah mencium saya? Lagi pula, di Amerika ciuman seperti itu sudah jadi hal yang wajar bukan?" Liliana terkekeh pelan sembari melengos, menyembunyikan semburat merah di wajah.
"Tapi tidak denganku." Aldrick meralat dengan wajahnya yang luar biasa muram. "Dan jika kamu tahu, aku hanya pernah mencium satu wanita. Dan itu kamu orangnya."
Pengakuan Aldrick membuat Liliana mematung sesaat lamanya, dan ketika ia melihat Aldrick akan berbalik, dengan reflek Liliana menangkup kedua pipinya, kembali menghadapkan wajah mereka untuk mencium bibirnya.
Mungkin ini adalah kesempatan terakhirnya untuk bersikap manis pada pria itu, maka itulah Liliana tidak akan menyia-nyiakannya.
Tubuh Aldrick menegang, pria itu membelalakkan matanya ketika Liliana memagut bibirnya berulang kali.
Semenit berikutnya, Liliana menarik diri sembari menunduk, takut jika kelancangannya akan membuat Aldrick marah. "Maaf kalau aku sudah berbuat kurang ajar, aku...."
Sebelum Liliana sempat menyelesaikan ucapannya, Aldrick menarik tengkuknya untuk menyatukan kembali bibir mereka. Dalam hitungan detik, tangan Liliana melingkar di leher Aldrick.
Dengan nafas yang berkejaran, keduanya berciuman intens. Saling memagut bibir satu sama lain.
Aldrick mengangkat tubuh Liliana lalu mendudukkannya di meja dapur. Sementara bibir dan lidah keduanya saling membelit dengan rakus, layaknya sepasang insan yang saling merindukan.
Entah setan dari mana, tangan Aldrick mulai membuka satu persatu kancing hem yang di pakai Liliana. Lalu meloloskan hem itu dari tubuh gadis itu dengan mudah.
"Kamu masih bisa menghentikanku, jika kamu belum siap," parah Aldrick sambil menatap Liliana lekat.
Tanpa kata, Liliana tersenyum sebelum menarik kembali leher Aldrick, hingga ciuman berikutnya pun tidak terelakkan.
"Tidak. Aku tidak akan pernah menyesal, Kak. Karena aku sudah terlalu lama menantikan saat-saat ini bersamamu."
Aldrick menggeram, lalu dalam sekejap ia mengangkat tubuh Liliana, membawanya ke sofa terdekat tanpa melepaskan ciuman mereka.
Ciuman Aldrick turun ke leher lalu mengecup bra hitam yang masih membungkus dada Liliana.
"Apa ini boleh ku buka?" tanyanya dengan suara yang kian parau.
Liliana mengangguk sembari menyentuh lembut kepala pria itu. "Miliki aku malam ini, Kak."
Tbc
Gimana dg part ini? Ada yg udah tahan nafas? Wkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Belahan Jiwa
Romance"Lily ... masih mau jadi adik Kak Al." "Kamu memang adikku kan? Dan selamanya akan selalu begitu. Percaya sama kakak, kakak tidak akan membiarkan mereka membawamu lagi." Kenyataan tragis perihal status sebenarnya membuat kedua insan kecil itu harus...