Liliana tidak mengerti mengapa dirinya juga di wajibkan ikut dalam rapat yang Aldrick hadiri. Padahal tugasnya saja masih banyak. Bahkan dokumen yang harus ia kerjakan sudah menumpuk di atas meja, meminta dalam isyarat untuk segera ia selesaikan.
Sungguh, menjadi sekertaris Aldrick dalam beberapa hari ini membuatnya tidak memiliki waktu untuk beristirahat. Pria itu selalu bersikap semaunya dan semakin menyebalkan dari hari ke hari. Tak terhitung berapa kali Liliana di tegur untuk kesalahan sepele. Dan semua titahnya harus segera Liliana turuti. Jika tidak, sudah di pastikan Liliana akan pulang terlambat di banding karyawan lainnya. Jika tidak ingat posisinya yang sekarang akan membuatnya bertemu dengan mantan orang tua kandungnya, mungkin Liliana lebih memilih untuk berhenti bekerja.
Sebenarnya Liliana tidak heran, mengingat Aldrick memang sudah sangat menjengkelkan sedari dulu. Memang ada saat-saat Aldrick akan bersikap baik padanya layaknya seorang kakak terhadap adiknya, tapi tidak jarang juga pria itu menjahilinya atau bahkan mengatai-ngatainya hanya karena ia mendapatkan nilai rendah di sekolah.
Sialnya, ketika itu Liliana tidak pernah sekalipun mendapatkan nilai yang lebih unggul dari Aldrick. Maka itulah ia harus rela menjadi bulian Aldrick di rumah. Tapi anehnya, Aldrick akan marah jika ada orang lain yang menghinanya. Pernah di umur mereka yang ke delapan tahun Aldrick meninju wajah teman sekelasnya yang sudah membuat Liliana menangis. Seketika Liliana menghangat ketika teringat pada masa-masa itu.
"Ngomong-ngomong, wajah kalian mirip."
Ucapan Mr.Adam seketika menyentak Liliana yang sejak tadi hanya duduk berdiam, menjadi pemerhati kedua pebisnis yang sedang bernegosiasi.
"Katanya kalau wajah kita mirip dengan lawan jenis, ada kemungkinan dia adalah jodoh kita," tambah pria berumur lima puluh tahunan itu.
Tanpa sadar ucapan itu mengundang tawa Liliana. "Mister ada-ada aja. Saya malah baru dengar pepatah itu dari Anda," timpalnya yang kemudian menggigit bibir atasnya begitu mendapati tatapan tajam dari Aldrick.
"Sekarang sudah dengar kan? Jadi nanti kalau kalian benar-benar berjodoh jangan lupa untuk mentraktir pria tua ini ya." Mr. Adam mengedipkan sebelah matanya, lalu menepuk pelan bahu Aldrick sebelum berpamitan.
Liliana terpekur menatap kepergian Mr.Adam beserta asistennya. Tanpa sadar jika Aldrick sudah mengawasi ekpresinya sejak tadi.
"Mr.Adam sangat suka becanda. Jadi jangan di anggap serius ucapannya."
Suara Aldrick mengembalikan fokus Liliana. Ia mengerjap dan mendapati wajah datar itu kini tengah tersenyum geli menatapnya.
"Oh yailah Pak. Saya juga tahu kali." Liliana seketika membuang muka sebelum memejam karena gugup.
"Lalu kenapa wajahmu merah?" Aldrick terlihat menahan senyum.
Sial.
Apa memang sejelas itu terlihat?
Liliana sadar mungkin reaksinya terlalu berlebihan. Padahal mungkin saja Mr.Adam hanya sedang mencairkan suasana kaku di antara mereka di sepanjang obrolan bisnis berlangsung, atau bisa jadi hanya sekedar guyonan sebagai akhir dari pertemuan. Lantas mengapa ia malah merona?
Usai menetralkan degup jantungnya, Liliana lalu kembali menatap atasannya itu. "Oh ini." Ia menyentuh kedua pipi yang sialnya terasa panas. "Ini ... Ini pasti karena pengaruh blush on yang tadi aku pakai," kilahnya sambil menyengir lebar. "Tadi kan saya sengaja pakai blush on banyak-banyak sebelum berangkat kemari, saya pikir hari ini Bapak mau ngajakin saya ketemuan sama bule ganteng. Eh tahunya...."
'Aki-aki.' Ia melanjutkan di dalam hati.
"Kecewa, karena Mr. Adam ternyata adalah pria tua?" Aldrick sudah memasang wajah datarnya kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Belahan Jiwa
Roman d'amour"Lily ... masih mau jadi adik Kak Al." "Kamu memang adikku kan? Dan selamanya akan selalu begitu. Percaya sama kakak, kakak tidak akan membiarkan mereka membawamu lagi." Kenyataan tragis perihal status sebenarnya membuat kedua insan kecil itu harus...