"Siang Pak Al."
Tiba-tiba Pak Bidin yang tadi ikut bercengkerama dengan mereka menyapa seseorang. Liliana mendadak di hantam rasa ngeri begitu menyadari siapa gerangan yang kini berada di balik punggungnya.
"Siang Pak."
Chika dan Vicko juga ikut menyapa bebarengan, hanya Liliana yang masih terpekur di tempat semula.
"Kamu sudah mengerjakan tugas yang saya minta?" tanya Aldrick menatap tajam Liliana tanpa mengindahkan mereka yang menyapa.
Liliana memejam sejenak sebelum menghadap bosnya itu dengan menyengir. "Eh Bapak, kapan balik Pak? Katanya baru balik tiga sampai empat jam lagi?"
"Sengaja saya ngomong gitu, pengen lihat kamu bener-bener ngerjain tugas kamu atau nggak," sahut Aldrick datar, tapi tetap terdengar menyebalkan di telinga Liliana.
Liliana sontak menoleh kearah Chika dengan wajah nelangsanya. "Nanti juga saya kerjakan kok Pak, lagian kan ini perut juga harus di isi, Bapak mau lihat saya pingsan?" kilahnya yang entah mendapat keberanian dari mana?
Sejenak Aldrick terlihat kehabisan kata-kata untuk menanggapi sanggahan Liliana. "Udah kan istirahatnya? Terus kenapa kalian masih disini? Bukannya kerja," ujarnya, seketika membuat mereka yang di singgung langsung bubar jalan.
Setelah berdeham pelan, Chika lalu berpamitan, disiusul oleh Pak Bidin yang kembali ke posnya, begitu pun dengan Vicko yang ikut meninggalkan. Menyisakan Liliana dengan Aldrick disana.
"Pak, umur Anda dua puluh enam kan?" tanya Liliana ketika keduanya tengah menunggu lift. Ia sebal lantaran Aldrick memilih menunggu lift satunya di banding bergabung dengan Chika dan Vicko di lift yang sebelumnya sudah naik.
"Kenapa memangnya?" Aldrick menatap Liliana, menyipit waspada.
"Soalnya di penglihatan saya, Anda seperti sudah berumur tiga puluhan. Anda tahu kenapa? Itu artinya Anda terlihat lebih tua dari umur Anda yang sebenarnya. Coba deh Pak jangan tegang-tegang amat jadi orang," ujar Liliana tanpa takut ucapannya akan membuat sang bos tersinggung.
"Jadi kamu sedang menasehati saya?"
"Nggak apa-apa kan Pak, sekali-kali atasan dengerin nasehat bawahan. Nggak jatuh miskin ini kan?" Liliana terkekeh pelan.
"Kamu nggak takut nanti saya potong gaji kamu?" Aldrick melirik Liliana tajam.
"Ya ampun Pak, masa tiap kali saya buat kesalahan ancamannya selalu potong gaji. Lama-lama gaji saya habis dong Pak."
"Memang itu urusan saya?" Aldrick memasuki lift yang terbuka dengan santai.
Sedang di belakang punggungnya, Liliana mengacungkan tinjunya sebelum menoleh kearah belakang dan langsung menyengir malu pada para karyawan yang ternyata tengah ikut mengantri di belakang.
***
Tidak terasa sudah satu bulan Liliana bekerja menjadi sekertaris Aldrick. Pria itu tetaplah pria berwajah datar dengan sikapnya yang dingin. Liliana bahkan tidak tahu kemana perginya sosok Aldrick yang dulu mengingat sekarang pria itu sudah sangat jauh berbeda.
Hari ini seperti biasa, Liliana berangkat ke kantor bersama Vicko dan sudah jadi kebiasaannya juga ketika di lampu merah Liliana akan membuka kaca mobil agar jika ada pengemis yang menghampiri mobil mereka, Liliana bisa langsung memberikan uang yang sudah ia siapkan dari rumah. Tapi ia tidak tahu jika mobil mewah yang ada di sebelahnya adalah mobil Aldrick. Sama tidak tahunya jika bosnya itu tengah mengawasinya sejak tadi.
Tiba di kantor, setumpuk dokumen sudah melambai-lambai untuk meminta di kerjakan. Tarikan nafas panjang, langsung Liliana keluarkan ketika membuka dokumen-dokumen itu satu persatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Belahan Jiwa
Romance"Lily ... masih mau jadi adik Kak Al." "Kamu memang adikku kan? Dan selamanya akan selalu begitu. Percaya sama kakak, kakak tidak akan membiarkan mereka membawamu lagi." Kenyataan tragis perihal status sebenarnya membuat kedua insan kecil itu harus...