Juan terkejut melihat Yeri memasuki ruang klub jurnalistik. Gadis itu sudah siap dengan sebuah formulir di tangan. Kenapa dia bisa ada di sini?
"Mau daftar dek?" Tanya Tama dengan ramah.
"I-iya kak Tama."
"Udah isi formulir?" Jawab Juan jutek.
"Iya kak. Ini," Yeri menyerahkan formulirnya pada Juan.
"Yaudah. Sana pergi."
"Lah? Nggak ada interview atau semacamnya kak?"
"Nggak usah udah. Yang penting udah daftar. Sana-sana pergi."
Tama heran dengan perilaku sahabatnya itu. Apa dikalahkan Daniel menjadikannya segila itu? Bahkan yang seharusnya dengan anggota klub baru menjadi ramah, kenapa malah kesetanan seperti itu?
"Lo kenapa sih? Kalo lo gini sikapnya, nih klub beneran tutup."
"Kesel gue. Dia kayaknya fans si Daniel."
"Lah bego. Kalo tau fans Daniel, ya lo baikin tuh anak. Siapa tau jadi berpaling dari fans Daniel ke fans lo."
"Ah bodo ah. Gue udah bete. Cabut yuk. Mangkal."
"Yaudah. Beresin dulu formulir itu. Simpen di tempat yang bener. Abis itu baru cabut. Gue juga udah di wa Jemi nih. Udah ditunggu."
Juan menganggukkan kepala. Ia lalu menyimpan keranjang tempat formulir di sebuah lemari kecil lalu meraih kunci ruangan tersebut dan memilih keluar dari ruang klub.
*
Jinan memasuki kontrakannya dan mencari keberadaan sang adik. Kontrakannya yang baru ditinggali selama tiga bulan itu tidak begitu luas memang. Tapi cukup bagi Jinan untuk tinggal di sana bersama dengan adiknya selama sekolah di Jakarta.
Masuk ke dalam kontrakan terlihat sepi. Apa Yeri belum pulang?
"Assalamualaikum...neng? Aa pulang ini."
Tidak ada sahutan tapi telinga Jinan menangkap suara-suara aneh di dapur. Gumaman dan beberapa barang yang bersentuhan. Apa itu Yerima?
"Neng?"
Jinan melihat ke dapur kecil yang ada di kontrakannya. Benar saja. Yeri sedang membuat sesuatu. Mengocok telur secara manual dan telinganya tersumpal earphone. Pantes saja...
"Neng," Jinan menepuk bahu Yeri yang tentu membuat gadis itu berjengit kaget.
"Loh? Aa sudah pulang kok nggak salam?" Cerocos Yeri sembari melepaskan earphonenya.
"Kata siapa? Aa udah salam tapi kamu sendiri nggak nyahut. Dosa loh," Jinan membela dirinya sendiri dan meletakkan kantung plastik yang ia bawa. "Buat apa itu? Kayaknya sih bukan buat Aa."
"Memang bukan buat Aa. Ini buat kak Daniel. Mau bikin brownies A. Oh ya, ini apa A?"
"Sayur lodeh itu. Ada gorengan juga. Buat makan malam. Udah masak nasi kan?"
"Ah lupa A," Yeri menepuk jidatnya. "Ya sudah atuh, Aa mandi. Biar aku masak nasi. Nanti Aa selesai mandi nasinya mateng kok."
Jinan hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah adiknya.
"Oh ya A, tadi teteh whatsapp aku. Katanya Aa suruh telepon balik kalo udah di rumah."
"Kenapa?"
"Mana neng tau. Tapi kayaknya sih Aa Namjun mau ada urusan di Jakarta beberapa hari."
"Oh," Jinan menganggukkan kepalanya. "Ya nanti Aa telepon tetehmu. Sekarang Aa mau mandi dulu. Kalo bener Namjun mau ke sini, pasti tetehmu itu mau minta ijin numpang di kontrakan."
"Iya mungkin. Wah, rame atuh kalo ada A Namjun."
Anam Juneidi atau yang kerap disapa Namjun karena di kampungnya banyak yang bernama Anam dan Juned itu merupakan kakak ipar Yeri. Kakak ipar yang sangat Yeri sayang karena perhatiannya pada Yeri begitu besar. Kerap kali Jenita, istri Namjun, juga bapak dan ibu meminta Namjun untuk tidak memanjakan Yeri. Tapi Namjun tetap saja memanjakan Yeri alasannya karena Yeri itu adik perempuan yang dari dulu ia harapkan. Namjun anak bungsu di keluarganya. Tidak punya adik. Yeri senang dengan kenyataan itu.
.
Kini selepas sholat Maghrib, Yeri dan Jinan makan berdua lesehan. Meja berbentuk persegi kecil menjadi tempat makanan mereka. Duduk bersama dengan televisi yang menyala.
"Berita neng," ucap Jinan sembari menggigit tahu isinya. Matanya tak lepas dari televisi meski acaranya sekarang adalah sinetron.
"Ini bagus atuh A. Lagi seru-serunya ini..."
"Hmmm..."
"A," panggil Yeri. "Kalo A Namjun di sini, tidurnya dimana?"
"Sama Aa lah neng. Sekamar berdua. Mau dimana lagi? Di teras juga kasian. Nanti digigitin nyamuk."
"Kirain gelar kasur gulung itu di sini," Yeri menunjuk tempat mereka makan.
"Ya enggak atuh, neng. Kalo cuma Namjun masih bisa Aa tampung di kamar."
Yeri mengangguk paham. "A, pacar Aa harus sayang sama aku. Sama kayak A Namjun sayang ke aku ya..."
"Calon tetehmu itu baik banget. Bakal sayang sama kamu, neng. Apalagi dia anak tunggal. Aa jamin, sayangnya berlipat."
"Kapan dikenalin ke neng?"
"Lah? Kamu belum ketemu? Dia guru di SMA Nusa Bangsa loh."
"Guru? Yang mana atuh A? Guru apa?"
"Guru biologi sih," ujar Jinan lalu memberikan cengirannya.
"Kakak gimana ih. Eneng kan anak IPS. Coba Aa kasih tau namanya. Nanti eneng cari tau sendiri."
"Airina Dewi."
"Oke..."
"Neng..."
"Iya A?"
"Gimana sekolahnya hari ini?"
"Seneng. Aku jadi wakil ketua kelas. Terus aku dapet temen A. Kayaknya dia itu... apa itu sebutannya... eneng lupa... eumm.... oh iya. Crazy rich surabaya. Sempet video call sama maminya. Tapi maminya nggak mau eneng panggil tante. Manggilnya mami."
"Ya bagus lah neng kalo orang tuanya ramah gitu," Jinan meneguk air putihnya lalu meraih remot tv ketika iklan muncul di tv.
"Terus eneng tadi juga dibantuin kak Daniel pas buku-buku paket yang eneng bawa jatuh... uh... kak Daniel so sweet. Tapi eneng juga kesel."
Jinan tersenyum menanggapi celotehan adiknya. "Kesel kenapa atuh? Itu ceritanya positif semua."
"Eneng ikut klub jurnalistik A. Tapi seniornya ngeselin pisan."
"Kenapa?"
Yeri meletakkan sendoknya. Ia lalu menatap Jinan bersiap untuk bercerita. "Dia itu kalo ketemu eneng marah-marah A. Awalnya nabrak eneng di perpus. Nggak minta maaf malah marah-marah. Eneng ngumpulin formulir juga marah-marah. Sok ganteng pisan euy. Mentang-mentang dari kelas unggulan IPA, anggota Osis juga, sikapnya semena-mena."
"Ya yang penting jangan berlebihan bencinya neng. Nanti malah suka loh," goda Jinan.
"Ih enggak mau atuh. Eneng enggak mau sama dia. Mending ya, eneng sama kak Daniel. Gantengan kak Daniel, ramah kak Daniel. Senyumnya manis kak Daniel. Nggak perlu kibas-kibas rambut juga auranya kak Daniel udah keluar, A. Kalo kak Juan? Yaaaa... jelek pisan. Gantengnya enggak ada. Sikapnya jelek. Ekspresinya jelek. Semuanya jelek. Eneng nggak suka ih. Eneng mau keluar aja dari klub."
Tring
Jurnalis SMA NusBang
'Anda telah ditambahkan ke dalam grup'
"Huwa!!! Eneng masuk grup jurnalis sekolah!"
*
'Ini abis mau masukin anak-anak ke grup kenapa kuping gue gatel banget ya?'
**
KAMU SEDANG MEMBACA
CHOCOLATE LOVE√
FanfictionApa jadinya jika seorang gadis berdarah Sunda terpaksa menjalani rutinitas baru dengan hidup di ibukota dan bertemu dengan orang-orang baru termasuk orang yang menyebalkan, orang yang menjadi pujaan, dan seorang lagi yang ia dambakan? Semua berubah...