Seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dan segar, terlihat tengah memanggul sebuah bakul berisikan beberapa buah jeruk yang baru dipetik. Terlihat menggiurkan terlebih ketika ia meletakkan bakul tersebut dibawah air yang mengalir. Membiarkan jeruk-jeruk itu basah sekaligus bersih.
"Wah, jeruknya seger pisan," seorang wanita dengan bakul menempel punggungnya terlihat menyapa. Jalanan dari arah kebun teh yang melintas depan rumah, membuat aktifitas wanita tersebut bisa dilihat.
"Eh," senyum wanita itu merekah. Ia melirik ada tiga gadis tengah berlarian dari arah atas. Tentu saja yang dimaksud adalah arah kebun teh. "Mau pulang, Ceu?" wanita itu kembali menyapa lawan bicaranya.
"Iya. Ini sudah penuh. Hari juga mulai gelap. Kami pulang dulu ya."
"Hati-hati!"
Suara tawa cekikikan tak samar lagi terdengar. Tiga gadis yang baru pulang dari bermain itu berhenti di depan gerbang setinggi dada orang dewasa. Mereka masih terlihat asyik melanjutkan obrolan hingga pintu gerbang itu terbuka.
"Aduh, eneng-eneng geulis kok masih disini. Pamali sudah mau gelap masih di luar begini."
"Iya juragan. Maaf," mereka saling melirik. Terlihat sekali mereka merasa tidak enak pada wanita paruh baya yang memanggul bakul yang basah.
"Sudah ya, mainnya dilanjut besok. Sekarang kalian pulang terus mandi."
"Iya, juragan," sahut dua gadis secara kompak.
"Oh ini. Jeruk untuk kalian."
"Wah seger ini, mbu!" seru seorang gadis yang bertubuh paling pendek namun paling berisi.
"Neng," tegur wanita tersebut pada anaknya. "Mandi dulu sana, abah sepertinya baru selesai. Kalian juga segera pulang ya."
"Iya juragan."
"Bye Dyan, Bye Nana!"
.
Petang telah hilang dengan sempurna. Tak ada lagi semburat kemerahan di ufuk barat karena kegelapan benar-benar hadir. Kali ini, sepertinya cuaca sedikit mendung karena bulan sedikit tertutup dan bintang hanya yang benar-benar besar yang terlihat. Seperti biasa, pria di rumah itu pergi ke tempat pengajian di salah satu rumah tetangga. Pengajian yang diadakan tiap senin malam. Di rumah hanya tertinggal ibu dan dua anak perempuannya serta seorang cucu.
Pembicaraan di ruang keluarga, tepatnya di depan televisi menyala yang sedang menyiarkan acara komedi malam, terdengar begitu serius. Hal serius itu yang jelas adalah mengenai masa depan bungsu keluarga tersebut. Putrinya sudah selesai SMP. Dan akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, tapi selain mendengarkan keinginan putri manisnya itu, mereka juga akan menyampaikan mengenai kabar yang baru saja di terima.
"Neng, teteh tadi dapat telepon dari A Jinan. Kamu lusa mau dijemput," ucap seorang wanita yang baru datang dari dapur sembari membawa sebotol susu.
"Kok A Jinan jemput? Ada apa teh?"
Ibu mereka tersenyum mendengar pertanyaan si bungsu. "A Jinan mau bayar janjinya. Apa kamu sudah lupa janji aa mu?"
"Janji, mbu?"
"Yer... Yer... masa lupa sama hal yang kamu inginkan? A jinan kan pengen nyekolahin kamu di kota. Di Jakarta. Katanya berkas pendaftaran sudah di urus. Lusa dijemput buat wawancara. Terus Sabtu depan lagi kamu dijemput. Seninnya sudah mulai sekolah."
Wajah gadis itu terlihat muram. Seperti tidak suka dengan berita yang baru saja ia dengar.
"Kenapa atuh wajahnya ditekuk begitu?" tegur sang ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
CHOCOLATE LOVE√
FanfikceApa jadinya jika seorang gadis berdarah Sunda terpaksa menjalani rutinitas baru dengan hidup di ibukota dan bertemu dengan orang-orang baru termasuk orang yang menyebalkan, orang yang menjadi pujaan, dan seorang lagi yang ia dambakan? Semua berubah...