Airina dan Yeri meletakkan kue yang mereka buat di meja kecil di depan tv. Mereka yang berada di kontrakaan itu sudah siap untuk makanan penutup setelah makan bersama.
"Kalo teh Jeni di sini, ada ambu dan abah juga, bakal lengkap," ucap Yeri lalu meraih remot tv.
"Sinetron lagi," gerutu Jinan.
"Loh dek, ini anaknya udah ditemuin apa belum sih?" Airina melirik layar tv sembari memotong kue.
"Belum teh. Ini baru mau nyari mereka itu. Tapi lama banget. Polisinya ngeselin pisan."
"Cocok kan kalian," komentar Jinan lalu mengambil sepotong kue bolu yang dipotong Airina.
"Wah, calon kakak ipar pintar bikin kue. Nanti Jenita biar belajar sama Teh Ririn ya?" Ucap Namjun yang juga sudah mencicipi kue buatan Airina.
"Boleh. Kalo Jinan udah siap ngenalin ke keluarga kalian ya," ucap Airina tanpa lupa melirik kekasihnya yang tiba-tiba berdehem.
"Nunggu apalagi A? Teh Ririn udah siap loh," tanya Namjun.
Jinan mengambil gelas yang berisi teh hangat lalu meneguknya.
"Iya bakal dikenalin. Rencananya bulan depan. Nunggu hutang lunas."
"Hutang?" Kompak Namjun, Yeri dan Airina.
Jinan mengangguk. "Beberapa bulan lalu Aa pake uang tabungan yang untuk nikah. Uangnya dipake buat nambahin biaya renovasi rumah yang sekarang masih belum selesai. Bulan depan, Aa dapat bonus. Lumayan buat ngembaliin tabungan nikah Aa."
"Kenapa Aa nggak cerita sama abah atau ambu? Mereka pasti bisa bantu," komentar Yeri.
"Aa nggak mau neng. Itu abah sama ambu sudah bantuin DP rumah dulu. Masak iya Aa juga repotin buat renovasinya? Uangnya kan bisa buat biaya lain."
"Lah Aa juga dapat uang darimana sekolahin eneng di sini?" Tanya Yeri. Ia merasa bersalah.
"Itu sudah Aa atur. Aa punya simpenan khusus, neng. Kan Aa udah janji. Yang nikah juga udah Aa siapin dari jauh hari. Cuma karena sempet kepake yaaa Aa tunda deh bawa Ririn ke rumah. Takut disuruh cepat-cepat halalin. Padahal rumah belum siap."
Yeri meleleh mendengar penjelasan Aanya. Saat nikah sudah punya rumah sendiri. Aanya benar-benar pekerja keras. Namjun pun demikian. Ia salut dengan kegigihan kakak ipar.
"Aku kok terharu ya," ucap Airina. "Kamu nggak perlu sekeras itu. Renovasi bisa kita kerjakan bareng-bareng. Bahkan dari nyicil beli rumah, kita bisa bareng-bareng. Kenapa juga kamu nggak cerita sih?"
Jinan merangkul Airina. "Aku hanya ingin terlihat siap di depan keluargamu. Aku ingin setelah menikah kita di rumah sendiri. Kamu nggak perlu kerepotan di kontrakan."
Yeri memeluk Namjun. Ia benar-benar meleleh dengan sikap sang kakak.
"Melting A Namjun..."
Tring
Sebuah pesan masuk ke ponsel Yeri. Ia memeriksa dan mendapatkan pesan dari orang yang tak diinginkan.
"Geleuh ih!" Kesal Yeri.
"Kenapa neng?" Tanya Jinan.
"Musuh eneng. Katanya lagi di jalan. Mau kesini ngasih bahan untuk siaran besok."
"Musuh? Aya-aya wae. Cari teman banyak-banyak. Jangan cari musuh," ucap Namjun.
.
Airina sudah berada di depan kontrakan. Berniat pulang karena mamanya sudah meminta pulang. Jinan ingin mengantar tapi Airina tidak mau. Dia juga sudah bawa motor sendiri.
"Permisi."
"Juan?" Airina langsung mengenali siswanya yang datang dengan menenteng beberapa kertas dan helm.
"Loh? Bu Ririn?"
"Mau ketemu Yeri?"
"Ibu kenal sama Yerima? Anak IPS?"
Airina mengangguk.
"Neng!! Ada yang nyari ini. Teman kamu!" Seru Jinan. "Duduk dulu dek," Jinan mempersilahkan Juan duduk di kursi yang ada di teras.
"Terimakasih ... kak?"
"Jinan. Aanya Yeri," Jinan memperkenalkan diri.
Juan menjadi ciut nyalinya. Ia menjadi begitu sopan. Entah karena ada bu guru cantik atau memang merasa sungkan dengan Jinan.
"Saya Juan. Kakak kelasnya Yeri. Saya juga satu klub jurnalis dengan Yeri."
"Tadi Yeri masih nyuci piring," ucap Airina.
"Tunggu sini ya. Mau keluar sebentar."
Juan mengangguk sebagai jawaban atas ucapan Jinan.
"Ayo Rin aku antar," Jinan meraih kontak motor Airina dan berjalan ke motor kekasihnya.
Tepat saat Airina dan Jinan pergi, Yeri keluar dengan tatapan sengitnya. "Dapat darimana alamat rumahku?"
"Dari identitas lo pas mos kemarin. Gue jauh-jauh kemari mau ngasih ini. Lo kudu pelajari."
"Kan bisa whatsapp aja. Nggak perlu datang ke sini kak."
"Kebetulan gue lagi di luar. Sekalian aja. Lagian gue chat juga nggak bakal lo bales. Buka chat grup aja lama. Gue japri juga nggak lo buka. Yaudah gue kesini aja."
"Ini kita buka sesi kirim menfess?"
"Udah dikirim. Nah lo pilih yang mau lo ambil. Yang mau lo bacain besok. Gue udah buka menfess dari tadi. Banyak juga yang masuk. Lumayan besok siaran kita nggak krik krik."
"Kirain mau muter musik kak."
"Mainstream."
"Gue udah ngantongi lima menfess. Lo pilih yang nggak dilingkari. Gue cabut."
Yeri hanya menggumam tanpa mau repot-repot menoleh pada Juan. Mendengar motor menjauh, Yeri masih fokus pada sebuah menfess.
"Cemburu itu mudah. Yang sulit adalah percaya. Ketika aku sudah percaya padamu, aku yakin kau tak akan menghianati kepercayaanku. Makasih ya. Kalo luang kita ke gramed lagi. Dari XI Sains."
Yeri selesai membaca menfess tersebut. "Gramed...?"
Ia lalu meneliti lagi pesan yang dikirim secara anonim. Sesama kelas XI IPA.
"Cheerleader cheer me up. My sweetest and my favourite chocolate."
Srek
Yeri meremas kertas yang ada di genggamannya. Ia lalu berlari ke dalam kontrakan. Tv masih menyala dan Namjun sudah tertidur di tikar yang ada di depan tv. Yeri melewatinya begitu saja membuka kulkas kecil dan mengeluarkan sebuah dessert yang ia buat bersama Airani.
Coklat lava cake. Kue cantik yang dalamnya lumer sudah siap untuk dimakan. Tapi Yeri memandang benci pada coklat itu. Mengambil sebuah sendok lalu menghancurkannya karena kesal.
"Bodo - bodo - bodo! Nyeri pisan," Yeri menepuk-nepuk dadanya. Merasa sakit hati tapi tak berhak marah.
"Aa Namjun!!! Besok eneng bolos!!!"
**
KAMU SEDANG MEMBACA
CHOCOLATE LOVE√
FanfictionApa jadinya jika seorang gadis berdarah Sunda terpaksa menjalani rutinitas baru dengan hidup di ibukota dan bertemu dengan orang-orang baru termasuk orang yang menyebalkan, orang yang menjadi pujaan, dan seorang lagi yang ia dambakan? Semua berubah...