"Yeri!!!"
Seru Joyka. Yeri muncul dengan tangan ke atas menggenggam gelangnya. Ia seolah mengatakan pada Joyka kalo semua baik-baik saja.
"Dek awas!!!"
Jihan segera melompat berniat membantu Yeri yang terdorong arus. Dengan tangan menggenggam gelang berharganya, Yeri berusaha untuk bergerak ke tepi. Ketidak beruntungan sepertinya berpihak padanya. Yeri kesulitan mengambil nafas, hingga sebuah tangan menariknya. Itu Jihan.
Jihan berusaha meraih Yeri yang hampir kehabisan nafas. Sementara di darat, Joyka berteriak-teriak meminta pertolongan.
Dugh
"Akh," Yeri merasa pusing. Kepalanya terbentur batu.
"Ayo hah," Jihan berusaha mengambil nafas. "Ke darat huh... airnya .. semakin deras huh.."
Jihan yang awalnya menarik berganti menjadi mendorong Yeri. Melawan arus yang deras rupanya menguras tenaganya.
Suara riuh mulai terdengar. Para siswa dan pembina mulai berkumpul di tepi sungai mendengar teriakan Joyka. Takut dan panik melanda ketika melihat Yeri dan Jihan terombang-ambing di sungai.
"Pak Sis! Cepat selamatkan anak-anak!" Seru seorang guru wanita di sana pada pak Siswanto, guru olahraga.
Pak Sis panik. Mulai melepas sepatu namun suara sesuatu yang masuk ke air menghentikan kegiatannya sejenak.
Juan dan Daniel.
Jihan hampir menangis karena tenaganya sudah terkuras. Tapi baginya tidak membuat jarak mendekat pada tepi tapi malah semakin menjauh. Yeri juga sudah lemah ditambah kepalanya pusing. Meski pandangannya mulai kabur, Yeri bisa melihat dua lelaki berenang mendekat. Kak Daniel dan kak Juan.
"Jihan!" Seru Daniel. Melewati Yeri dan meraih tubuh Jihan.
'Rasanya ingin benar-benar pingsan. Kak Daniel dan kak Jihan...'
Tubuh Yeri hampir tenggelam namun tiba-tiba tubuhnya bergerak cepat. Jatuh ke dalam pelukan seseorang. Yeri sudah tak peduli lagi. Benar-benar kelopak matanya berat.
"Jangan merem. Bertahan," bisik Juan.
'Kak Juan...'
"Dikit lagi."
'Maaf...'
Yeri benar-benar menutup matanya membuat Juan sesegera mungkin berenang ke tepi.
"Bantuin woy!" Seru Juan saat sudah berada di tepi. Para guru dan beberapa siswa mulai membantu.
"Bawa ke tenda kesehatan!" Seru salah satu guru.
Juan mengangguk. Meski lelah, ia masih mengangkat tubuh Yeri dan membawanya ke tenda kesehatan.
Sementara Jihan yang masih sadar meski tubuhnya lemah berada di sana. Ia belum ingin kemana-mana. Daniel juga ada di sana. Memeluk menenangkan Jihan.
"Udah nggak apa-apa. Udah aman."
"Ibu ambilkan air hangat dulu."
Meski masih di sana, orang-orang tetap perhatian pada Jihan. Ada yang membawakan air hangat, minyak kayu putih, juga selimut.
"Aku berniat bantu. Tapi aku salah. Seharusnya aku meminta pertolongan."
Daniel mengangguk. "Sudah. Yang penting semua baik-baik saja."
.
"Udah, jangan nangis," ucap Tama pada Joyka.
Joyka berada di depan tenda kesehatan. Banyak anak yang berkumpul hanya ingin tau kronologi kejadiannya.
"Kalian bisa bubar nggak sih? Nggak tau ada orang lagi shock apa? Kepo mulu jadi orang. Kasih waktu supaya Joyka tenang. Kalo Yeri sudah sadar, kasih waktu juga. Jangan muasin rasa penasaran kalian aja. Sana bubar!" Seru Tama.
Setelah itu, mereka pergi. Tak mau lagi membuat Tama marah.
Tama menepuk bahu Joyka dengan pelan beberapa kali. "Udah ya. Jangan nangis. Nggak apa-apa."
Sementara itu di dalam tenda, Airani merawat Yeri dengan telaten. Badan calon adik iparnya mulai demam. Ia mengompres Yeri agar demamnya turun. Merapatkan jaket dan menaikkan selimut tipis itu hingga sebatas dada.
"Mau sampai kapan kamu disitu, Wan?" Tanya Airani.
"Sampe Yeri sadar, Bu."
Airani tersenyum. "Udah nggak apa-apa. Kamu ganti baju dulu. Nanti kamu malah masuk angin juga loh."
"Gampang Bu Ririn. Saya sudah nggak kedinginan."
Airani tersenyum lagi. Juan memang cuek, terlihat nakal dan tak peduli. Jika dilihat dari gayanya sehari-hari, seperti tidak mengenal sopan santun. Tapi sebenarnya tidak begitu. Juan tetap sopan pada guru-gurunya. Juga pada orang yang lebih tua. Kecuali orang tuanya.
"Yeri.. sudah bangun? Pusing?" Tanya Airani.
Yeri mengerjapkan mata. Tubuhnya terasa hangat sekarang. Tapi kepalanya masih pusing.
"Teh, jangan kabari Aa," ucap Yeri lemah secara spontan. Melupakan fakta bahwa mereka berada di sekitar warga SMA Nusa Bangsa.
"Iya. Nanti saja kalau pulang dari sini baru teteh yang cerita. Kamu masih pusing?"
Yeri mengangguk. Ia melirik ke sisi yang berlainan dari sisi Airina. Ada Juan.
"Kak Juan?"
"Dia yang udah bawa kamu ke tepi dan ke tenda," bisik Airina.
"Terimakasih ya kak..."
Juan mengangguk. Ia memberanikan diri menyentuh pipi Yeri. "Panas banget ini. Lo tidur aja. Biar besok sembuh. Besok ada jelajah gitu sama anak-anak. Kalo lo mau ikut, cepet sembuh. Kalo enggak ya sakit aja terus."
Airina tertawa pelan. Sungguh aneh cara menyemangati ala Juan.
"Ya sudah. Sebentar lagi jam makan malam. Kamu balik ke kelompokmu sana, ganti baju terus makan malam."
"Sebentar bu."
"Yeri aman di sini. Sudah, sana."
"Hmmm... baiklah bu."
"Ini gelang dari siapa sih dek?" Tanya Airina.
"Gelang dari ambu teh. Makanya pas jatoh ke sungai, aku panik."
Airina menggelengkan kepala. Ia lalu memasangkan gelang tersebut pada Yeri.
"Lain kali hati-hati. Sekarang makan ya? Terus minum obat. Sini aku suapin."
"Terimakasih teh..."
**
KAMU SEDANG MEMBACA
CHOCOLATE LOVE√
FanfictionApa jadinya jika seorang gadis berdarah Sunda terpaksa menjalani rutinitas baru dengan hidup di ibukota dan bertemu dengan orang-orang baru termasuk orang yang menyebalkan, orang yang menjadi pujaan, dan seorang lagi yang ia dambakan? Semua berubah...