[] THREE 🐊

86 14 1
                                    

T H E Y O U T H C R I M E

03

"DAUN BERGUGURAN bukan berarti mereka tak berguna setelahnya. Begitupun anak-anak, kita harus menilai mereka lewat dua sisi."

Mahendra tengah sibuk menulis jurnal harian yang biasa dilakukannya untuk menghabiskan sisa malam. jurnal itu bukan sembarang jurnal, alih-alih catatan atau riwayat hidup, Mahendra fokus  menuangkan ide dan pemikirannya terkait kenakalan remaja yang acap kali disepelekan sebab orang-orang menganggap mereka itu tak bisa dimengerti dan belum paham bagaimana dunia berjalan. Kenakalan itupun tak pernah berkurang jumlahnya dikarenakan mereka berlindung di balik sebutan 'anak-anak'. Selain itu, dia juga menyelipkan beberapa kisah yang ditemukannya selama mengajar di SMANJA.

Bullying, kekerasan, pemerkosaan, pelecehan seksual, pembunuhan dan tindak kriminalitas.

Semua itu mengancam garis kehidupan anak-anak yang sedang menginjak remaja, di mana kurangnya pengawasan dari orang tua akan memudahkan mereka untuk terjerumus dalam jurang tak berujung. Jika tak disikapi secara cepat dan tanggap, remaja bisa menggeser kedudukan kasus orang dewasa di era modern ini dan menimbulkan korban jiwa.

"Hukuman perlu diubah dengan bimbingan karakter … karakter …." gumam Mahendra menggerakkan pena hitamnya hingga tetes tinta terakhir. Habis. Meski dia sudah sering menulis jurnal, jari-jarinya tetap terasa kaku dan berat. Mengalihkan diri dari kebosanan, Mahendra membuka laptop dan mencari berita-berita menarik.

Mahendra terkejut ketika mendapati ada panggilan masuk.

"MAHENDRA!"

"Halo?"

"INI IBU! KAMU MASIH INGAT UNTUK KIRIM UANG TRANSFERANNYA KAN?!"

"Ibu! Siap, nanti Mahendra kirim!"

Ponsel kembali bergetar. Mahendra kembali bangkit dari tidurnya dan mengangkat panggilan.

"PAK HENDRA!"

"Halo! Bersama siapa dan di mana?"

Karena disapa secara cepat dan tiba-tiba tanpa salam pembuka, Mahendra sedikit keceplosan.

Panggilan telepon bersuara wanita itu lantas menjawab. "Dengan Lucy dari Lebak Bulus!"

"Ada apa Ibu Lucy—"

"Saya protes terkait nilai bahasa Indonesia! Anak saya di kelas 10-A!"

Mahendra terperangah sejenak dan menatap berkas rekapan nilai Bahasa Indonesia kelas 10-A. Dia ingat bahwa dari tiga puluh siswa itu, satu diantaranya mendapat nilai rendah. Tentu saja bukan tanpa alasan, Mahendra pun telah menggandeng jawabannya.

"Perkenalkan sebelumnya saya Mahendra, wali kelas 10-A. Anda orang tua dari salah satu siswa? Mari bicara baik-baik."

"Saya Lucy, orang tua dari Pandu. Setahu saya, anak saya sudah berusaha membuat tugas dengan baik tetapi malah mendapat nilai dibawah seratus! Kenapa Anda tega sekali memberikan nilai sekecil itu?!"

"Saya tega? Mohon Anda tenang dulu. Penilaian saya bukan semata palsu tetapi sesuai dengan fakta di lapangan. Anak Anda, Pandu memang mengerjakan tugas dengan baik tetapi dia bersikap kurang baik di kelas."

𝐓𝐇𝐄 𝐘𝐎𝐔𝐓𝐇 𝐂𝐑𝐈𝐌𝐄 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang