[] FOUR 🐊

79 14 10
                                    

T H E Y O U T H C R I M E

04

SEMENIT SEBELUM bel sekolah berbunyi, gerombolan siswa tampak berjalan beriringan di area gerbang sekolah. Layaknya karpet merah, mereka saling menebar pesona masing-masing untuk menggaet perhatian. Dari semua itu, ada satu lelaki introver yang tampak tidak tertarik untuk melihat-lihat kerumunan gadis dengan sorot mata dingin nan gelap sembari merapikan rambut crew cut miliknya, tetap saja aura kejantanannya menusuk hati kaum hawa. Mereka bukan sembarang siswa, mereka adalah Ten Angels.

"Ibu, siapa mereka?" tanya seorang perempuan kecil kepada sang ibu. Anak itu terlihat kagum apalagi tampilan siswa-siswi itu secantik bulan purnama dan setampan singa yang siap melahap mangsa.

"Huh, mereka itu anak-anak nakal, Nak. Sebaiknya buang jauh-jauh rasa kekagumanmu itu," ujar Wenny seraya memelototi mereka.

Mahendra diam-diam menguping pembicaraan mereka seraya melangkah masuk ke ruang guru. Stigma negatif soal anak-anak seringkali jadi hal yang kerap diperdebatkan oleh para guru dan seperti biasa solusinya tidak jauh-jauh dari pembinaan dan guru BK meski ujung-ujungnya tidak berdampak sama sekali.

Dari jauh, keributan dan kegaduhan kelas 10-A terdengar begitu jelas. Mahendra segera menebak kalau kelas itu pastinya memanfaatkan jam tanpa kehadiran guru dengan bermain dan bercanda sesuka hati.

Mereka pun tak perlu was-was apabila ada papan tulis atau jam dinding yang jatuh akibat kelakuan di luar batas sebab hal itu bisa diselesaikan dengan mudah. Buku-buku seolah jadi debu tak berguna di tangan mereka dan lebih mengutamakan kesenangan masing-masing. Bagi yang tidak ingin terlibat masalah, cukup tutup kuping dan tidur sejenak.

"CEPAT! DIA DATANG!"

Para siswa buru-buru kembali terduduk di bangku masing-masing, meletakkan buku pelajaran seraya memasang pose serius, tak lupa membersihkan sampah yang berserakan. Kelas mendadak hening. Mahendra melangkah masuk dan segera disambut dengan penghormatan.

Mahendra pura-pura tidak tahu dengan kondisi kelas 10-A yang rata-rata siswanya sangat sulit untuk diatur. Bahkan beberapa siswa laki-laki menaikkan salah satu kakinya, tidak sopan. Namun, memberi teguran dengan kemarahan juga tak menghasilkan apa-apa, di sinilah guru harus ekstra bersabar. Jujur saja, Mahendra ingin sekali melancarkan pukulan bogem yang sudah dia tahan tetapi urung dilakukannya.

"Selamat pagi anak-anak. Sebelum Bapak memulai pelajaran, dengar-dengar sudah ada masalah di kelas ini ya?"

"Betul, Pak! Pelakunya itu—"

"Gara-gara dia, Pak!"

"Pasti kelas 10-A makin terkenal! Terkenal karena kenakalannya, hahaha!"

Mahendra menenangkan kondisi kelas yang tiba-tiba saja diserbu oleh respon siswa. Mereka sangat aktif untuk berbicara satu sama lain tetapi itu dalam konteks bercanda. Sementara kalau belajar serius mereka akan selalu mengatakan 'mengerti' sekalipun pada akhirnya mayoritas siswa akan mendapat remidial terkecuali bagi yang rajin belajar tak perlu was-was.

"Tenang, tenang. Jangan saling menuduh. Sekarang Bapak hanya ingin kejujuran dari kalian semua. Bagi yang telah berbuat masalah, silakan maju ke depan."

Tanpa menunggu lama, seorang lelaki melangkah tegap diiringi seruan dari para siswi. Mereka tampak begitu antusias dan tertarik tanpa memedulikan fakta sebenarnya. Mahendra mengerutkan kening seraya mendekati lelaki itu.

𝐓𝐇𝐄 𝐘𝐎𝐔𝐓𝐇 𝐂𝐑𝐈𝐌𝐄 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang