Bab 1

227 5 2
                                    

Aku bisa menyukaimu tanpa alasan tapi kamu malah menganggapku beralasan

•Seindah Cinta Allah•

Melihat bekal yang sudah siap dan tertata rapi membuat bulan sabit di wajah Qiandra mengembang. Dengan perasaan bahagia ia menutup kotak makan itu lalu mengangkatnya tinggi-tinggi.

"Nasi goreng dan telur mata sapi spesial buatan Qiandra sudah siap. Semoga dia suka. Muach." Satu kecupan turut ia tambahkan pada bekal itu, selanjutnya memasukkannya ke tote bag. Ia sudah tidak sabar ingin memberikan bekal ini.

Gadis kecil yang melihat tingkah Kakaknya itu mengerucutkan bibir. "Aku juga mau bekal," teriaknya lucu sambil menunjuk bekal milik Qiandra.

Qiandra tersenyum hangat, "boleh dong. Buat Adik tersayang yang ini." Qiandra memberikan bekal satunya lagi bergambar karakter kartun yang sudah ia siapkan.

"Yeay," teriak gadis kecil itu senang.

Kemudian Qiandra berdiri mengambil ransel Adiknya dan memakaikannya.

"Sudah siap?" tanya Qiandra pada Adiknya.

Gadis kecil itu mengangguk lucu. Qiandra gemas. "Oke, kita berangkat. Pamit sama Ayah dulu, ya."

Kemudian dua gadis berbeda generasi lengkap dengan seragam sekolah itu berjalan beriringan mencari sosok Ayahnya yang sedang berada di kamar mandi, mencuci baju.

"Ayah kenapa enggak ikut sarapan sama kita?" Shakira tiba-tiba bertanya sesampainya didepan pintu kamar mandi.

Galih yang merasa terpanggil menoleh, lalu mendatangi kedua putrinya.
"Kan Ayah lagi cuci baju kamu," katanya sambil menyolek hidung putri bungsunya.

"Harusnya aku aja yang cuci, Yah. Tapi ya nggak bisa pagi juga sih nyucinya." Qiandra nyengir. Karena setelah bangun tidur ia langsung pergi ke dapur untuk memasak, menyiapkan sarapan lanjut bersih-bersih. Lalu kalau masih sempat ia ikut menyiapkan keperluan Adiknya sebelum berangkat sekolah.

"Enggak apa-apa. Shakira tadi ngompol jadi cepet-cepet Ayah cuci."

Melihat Ayahnya melakukan pekerjaan rumah seperti ini membuat hati Qiandra teriris.

"Andai Ibu enggak ninggalin kita, Ayah enggak bakal kaya gini." Qiandra tidak akan melihat Ayahnya pontang-panting menyiapkan keperluannya dan sang Adik, tidak akan melihat Ayahnya susah payah bekerja kesana kemari untuk menghidupinya dan sang Adik. Semua akan berjalan normal seperti keluarga pada umumnya.

Galih cepat-cepat menyangkal. "Enggak boleh ngomong gitu."

"Tapi Ayah kerja lebih dobel setelah Ibu meninggal."

"Karena semua yang Ayah lakukan untuk kamu dan Shakira. Ayah enggak menyesal melakukan semua ini. Dengar Qiandra, kematian manusia itu sudah pasti. Kita nggak boleh ngomong andai. Ngerti?" Galih mengelus kepala putri sulungnya. Ia tahu bagaimana perasaan Qiandra. Meninggalnya isterinya adalah hal yang berat untuk anak-anaknya. Di usia mereka yang membutuhkan peran seorang ibu.

"Kalian mau berangkat kan? Yasudah cepat, telat nanti," perintah Galih. Qiandra maupun Shakira lekas mencium tangannya dan bergegas berangkat sekolah.

Setelah memastikan kedua putrinya benar-benar luput dari pandangan, Galih menumpahkan apa yang sedari ia tahan. Dadanya sesak, setiap mengingat almarhumah isterinya, hatinya kembali sakit. Bukan sakit karena kehilangan, tapi sakit kala mengingat kepercayaan yang ia bangun harus dikhianati oleh isterinya sendiri.

****

Setelah lebih dulu mengantar Adiknya ke sekolah TK, barulah Qiandra berangkat menuju ke sekolahnya, SMA Triguna. Langkah lebarnya begitu fasih menyusuri koridor depan kelas IPA. Meski malu karena terus mendapat sorotan dari anak-anak IPA, tekatnyalah yang terus menjadi penguatnya. Mau bagaimana? Qiandra sendiri dari kelas IPS, tapi malah masuk ke Kelas IPA.

Brak!

Dibukanya pintu kelas 12 IPA 1 dengan keras membuat anak-anak yang ada didalam menatapnya tak suka.

Qiandra memasang senyum tak bersalah sambil menangkupkan tangannya.

"Belum dateng ya?" tanya Qiandra setelah mengedarkan netranya tapi tak menemukan orang yang ia cari.

"Belum," balas salah satu anak yang ada di kelas.

Qiandra tak habis akal. Karena hapal dimana tempat duduk si target, ia akan menaruh bekal yang ia buat tadi pagi di mejanya saja.

"Semoga kamu suka ya. Muach." Kecupan kedua untuk bekal itu sebelum Qiandra meletakkannya.

Anak-anak yang sudah hapal kebiasaan Qiandra hanya geleng-geleng kepala.

"Wih enak nih."

"Jangan pegang!" teriak Qiandra saat Gerald datang dari arah belakang hendak mengambil bekal itu.

"Kenapa nggak boleh?" tanya Gerald heran.

"Bekal ini spesial buat Argi doang. Yang lain nggak boleh termasuk kamu." Qiandra memperingati.

"Buat Argi? Emang Argi mau? Lo nggak ingat kalau bekal yang setiap hari Lo kasih nggak pernah dia terima?" Gerald tersenyum mengejek.

Qiandra mengerjap, benar juga. Selama ini belum pernah Argi menerima bekal darinya.

"Yang ini spesial, mungkin Argi mau," balas Qiandra.

"Mana yang spesial coba gue lihat?" Gerald berusaha merebut bekal itu dari tangan Qiandra, tapi Qiandra menolak.

"Nggak boleh!"

"Lihat!"

"Nggak!"

"Lihat!"

Adu mulut itu terus berlanjut. Gerald yang tidak mau mengalah dan Qiandra yang kukuh mempertahankan. Anak-anak yang ada di kelas hanya sibuk menjadi penonton tanpa mau ikut campur. Kejadian seperti ini sudah sering terjadi.

Hingga orang yang Qiandra tunggu berdiri dihadapannya, segera ia menyudahi adu mulut dengan Gerald.

"Argi. Argi, aku bawa bekal nasi goreng sama telur mata sapi. Semoga kamu suka," jelas Qiandra sambil menyodorkan bekal itu pada Argi.

Argi diam sesaat, menatap wajah Qiandra dan bekal itu bergantian. Kenapa cewek ini terus saja mengganggunya.

"Bawa pergi," balas Argi dingin tanpa menyentuh bekal itu, dan berlalu melewati Qiandra.

"Gue bilang juga apa? Nggak percaya," bahut Gerald menertawakan Qiandra.

Qiandra berbalik, mendekati Argi yang duduk di kursinya.

"Kenapa sih Argi, kamu nggak pernah terima bekal dari aku? Kamu nggak suka ya sama makanannya?" Qiandra menatap bekal di tangannya sendu. "Udah dua tahun lho, Argi, aku beraniin buat deketin kamu. Apa nggak ada niat buat menghargai usaha aku?" Suara Qiandra memelas.

Anak-anak yang ada di kelas berubah mellow. Siapa yang tidak tahu soal Qiandra. Cewek bermental baja yang selalu berusaha agar mendapat perhatian dari Argi cowok yang terkenal dingin dan cuek, tapi menjadi idola semua kalangan, membawakan bekal setiap hari meski selalu ditolak. Kadang anak-anak melihat Qiandra kasihan. Tapi Qiandra sendiri seolah tak perduli penolakan yang ia dapat, ia malah semakin gencar mengganggu Argi.

Argi berdiri dari duduknya membuat Qiandra berkesiap.
"Gue nggak pernah minta lo perhatian sama gue. Gue juga nggak pernah minta lo bawain bekal buat gue. Semua yang lo lakuin ke gue, itu gue juga nggak pernah minta. Jadi kalo lo minta gue respon balik, itu rasanya mustahil. Nggak mungkin," tegas Argi penuh penekanan. Setelahnya dia pergi keluar kelas dengan langkah lebar. Disusul Gerald dibelakang.

Bisik-bisik dari anak-anak mulai terdengar membicarakan Qiandra. Ada yang kasihan ada juga yang menyukurkan.

Qiandra terdiam mencerna setiap kata yang baru saja Argi ucapkan. Ia bergumam lirih. "Emang bener sih kalau semua yang aku lakukan ini bukan kamu yang minta," jeda sejenak."Tapi aku udah terlanjur suka sama kamu, Argi, gimana dong?!" teriak Qiandra.

11 September 2021

Seindah Cinta Allah [ Part Lengkap- Sudah Terbit ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang