Penyesalan terbesar adalah ketika aku menyesali penyesalanku di waktu yang terlambat
•Seindah Cinta Allah•
"Udah dicariin ide biar bisa ketemu sama Kiandra, lo malah diem aja," gerutu Ghifari pada laki-laki yang kini fokus nyetir dibalik kemudinya.
"Lo sengaja?" imbuh Ghifari.
"Iya." Argi menjawab dengan tenang.
Ghifari membuang napas, lalu kembali menatap depan. Satu minggu yang lalu ia mengajak Argi untuk ikut komunitas peduli bermaksud mempertemukannya dengan Qiandra. Berharap Argi bisa meminta maaf seperti hanv sepupunya itu inginkan. Tapi sampai akhir kegiatan bukannya berusaha mengobrol dengan Qiandra, Argi malah diam saja lalu pamit pulang setelah salat maghrib. Ghifari sedikit kesal.
"Gue nggak berani waktu itu." Argi bersuara masih dengan pandangan ke depan. Ghifari menoleh.
"Lo tahu sendiri kan gimana sikap gue ke dia? Perlakuan gue nggak ada baik-baiknya." Argi sadar saat ini yang ia rasakan adalah malu. Untuk berhadapan dengan Qiandra saja rasanya butuh waktu yang lama untuk meyakinkan diri. Waktu bertemu dengan perempuan itu di masjid Al-Falah, Argi berusaha keras menekan rasa tidak enak di hatinya.
"Butuh waktu lama buat gue beranikan diri."
"Waktu lo udah kelewat lama," seloroh Ghifari. Argi mengangguk menyetujui.
"Gue tahu. Makanya gue ajak lo sekarang."
Ghifari diam, mencerna perkataan Argi. "Lo mau ajak gue ketemu Qiandra? Berarti sekarang perjalanan ke rumahnya dia?"
"Bukan. Kita ke tokonya."
Ghifari paham sekarang, pantas tadi waktu Argi menyusul ke rumahnya diam saja saat ditanya mau pergi kemana. Beruntung Ghifari tidak ada jam malam di rumah sakit.
"Kita beli sesuatu sebentar," usul Ghifari.
"Buat apa?" Argi mengernyit heran.
"Lo nggak mungkin datang dengan tangan kosong."
Argi mengangguk seketika. Akhirnya ia memutuskan untuk mencari sesuatu yang bisa ia berikan pada Qiandra. Mobil Argi berhenti didepan toko cokelat yang menyediakan berbagai olahan berbahan cokelat. Tak lupa juga membawa sebuket bunga matahari sebagai pelengkap. Setelah mendapat benda yang Argi inginkan, ia melanjutkan perjalanan.
Karena saat ini sudah pukul delapan malam, jalanan menjadi lebih lenggang yang mana memudahkan Argi. Berkali-kali ia meremas tali Tote bag berisi cokelat yang ia pegang di tangan kanan, sedangkan tangan kiri menggendong buket.
"Lo pasti bisa!" lirih Argi sendiri.
"Bismillah." Argi menoleh saat Ghifari menepuk bahunya. Lalu mereka berjalan ke arah toko Qiandra yang masih terbuka. Didalam toko masih ada beberapa orang pembeli. Argi dan Ghifari duduk disalah satu kursi yang menghadap langsung ke arah luar lewat jendela kaca sebatas bahu.
"Mas mau pesan apa?" tanya seorang laki-laki salah satu pegawai Qiandra.
"Saya temannya Qiandra, Qiandra ada?" bukan Argi yang bertanya, melainkan Ghifari.
"Mbak Qiandra, ada," kata laki-laki itu.
"Boleh tolong panggilkan, saya ada urusan," imbuh Ghifari.
"Sebentar ya, Mas." Setelah mengatakan itu, laki-laki itu langsung undur diri.
Sementara Argi terus meremas buket bunga yang ia pegang, matanya menelisik ke seluruh ruangan hingga berhenti di vas bunga yang ada disebelah meja kasir. Sudut bibir Argi tertarik lantas menunduk. Qiandra ternyata tidak membuang bunga darinya.
Sedangkan di sisi lain di Qiandra semakin memelankan langkahnya saat mengetahui orang yang ingin bertemu dengannya salah satunya adalah Argi. Mau apa Argi kemari?
"Assalamualaikum." Qiandra memberi salam setelah berada tepat didepan dua laki-laki itu.
"Waalaikumsalam salam," jawab mereka bersamaan. Qiandra mengambil duduk.
"Apa kabar, Qi?" Ghifari memulai pembicaraan.
Qiandra mengangguk. "Alhamdulillah baik."
"Kaki kamu gimana, masih sakit?"
"Alhamdulillah, udah baik juga." Ghifari mengangguk paham.
Pelan-pelan Qiandra mendongak untuk melihat dua laki-laki yang ada didepannya.
"Maaf ganggu kamu malam-malam begini," kata Ghifari.
Qiandra tersenyum. "Nggak kok. Ada keperluan apa ya?"
"Sebenarnya bukan aku yang punya kepentingan, tapi Argi," tunjuk Ghifari sambil menoleh ke arah Argi.
Qiandra menahan napas, dugaannya benar. Perasaannya mulai tidak enak.
"Iya, Argi?" Dengan gugup Qiandra berusaha mengajak laki-laki dengan sorot tajam itu bicara.
"Qiandra." Argi akhirnya bersuara. Perasaan Qiandra seperti terjun dari ketinggian seribu lima ratus meter dari permukaan bumi. Apa ini? Argi memanggil namanya untuk pertama kali?
"Qiandra... Maaf." Qiandra semakin tidak bisa berkata apa-apa saat Argi melanjutkan ucapannya. Ada getaran di dadanya yang membuat seluruh tubuhnya menghangat. Antara senang bercampur bingung. Apa maksudnya Argi meminta maaf?
Belum selesai rasa penasaran Qiandra, Argi menyodorkan sebuket bunga yang sama persis seperti yang biasa ia terima.
"Maaf selama ini sudah mengirimimu bunga tanpa izin. Maaf kalau aku buat kamu nggak nyaman."
Kamu? Barusan Argi memanggilnya kamu? Ya Allah rasanya seperti mimpi mendengar laki-laki itu menyebut dirinya dengan lebih sopan. Dan juga... Bunga?
"Jadi selama ini bunga itu..." Qiandra menoleh ke arah buket yang tertata rapi disamping meja kasir, lalu kembali menatap Argi.
Argi, laki-laki mengangguk, mengerti maksud tatapan Qiandra. "Iya, itu dariku."
Qiandra bungkam seribu bahasa. Jadi selama ini bunga yang ia terima setiap Minggu itu dari Argi?
"Kenapa bisa?" Qiandra masih didera keheranan.
"Sebagai permintaan maaf dan terima kasih."
"Maaf untuk apa? Terima kasih kenapa?"
Argi menunduk sebentar, lalu melanjutkan. "Aku emang pengecut nggak berani bicara langsung. Maaf, maaf atas semua yang pernah aku lakukan dulu. Sikapku yang egois, kasar, bahkan ucapanku yang menyakiti hatimu. Aku bodoh karena menyesalinya dengan terlambat." Napas Argi terengah, ia berganti sejenak untuk mengatur napas dan hatinya yang kembali sesak. "Aku terpengaruh dengan sakit masa lalu yang terus aku bawa sampai saat ini. A-aku kalut sampai nggak bisa menyadari kalau disini bukan cuma aku yang sakit, tapi kamu juga. Kita sama-sama sakit karena kesalahan yang orang tua kita perbuat." Argi menghentikan ucapannya saat oksigen dalam dadanya menipis. Sungguh penyesalan yang benar-benar Argi sesali adalah menyesali kesalahannya di waktu sekarang.
"Aku mungkin belum sepenuhnya bisa memaafkan, tapi nggak seharusnya benci itu juga aku luapkan ke kamu. Maaf Qiandra...maaf." Argi menjeda saat melihat perempuan itu sudah menangis dalam diam.
"Dan terima kasih. Terima kasih atas semua perhatian yang kamu kasih ke aku dulu. Terima kasih juga karena udah nolong dan memenin aku di rumah sakit waktu aku kecelakaan. Ayah yang bilang kalau kamu yang nunggu aku selama Ayah belum datang. Terima kasih karena udah baik sama aki. Terima kasih atas semua perasaan kamu yang nggak pernah aku balas."
Allahu Akbar. Qiandra memejamkan matanya rapat-rapat menyamai air yang lolos dari matanya. Ini bukan yang selama ini ingin Qiandra dengar? Pengakuan seorang Argi? Lalu kenapa ia malah menangis?
Bukan, ini menangis terharu. Qiandra benar-benar terharu dan juga tidak percaya akan apa yang barusan ia dengar.
"Aku nggak tahu apa ini akan semakin menyakitimu atau nggak. Tapi kalau boleh, izinkan aki membalas semua perbuatan yang pernah aku perbuat dulu sama kamu, Qiandra." lanjut Argi dengan suara yakin.
Qiandra seketika mendongak untuk menatap Argi. Kejutan apa lagi ini?
12 Oktober 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Seindah Cinta Allah [ Part Lengkap- Sudah Terbit ]
Romance📌Part acak mulai Bab 1-11🙏 Menyukai orang yang tidak menyukai kita balik adalah hal yang menyakitkan, bukan? Ibarat cinta tapi sendiri. Itulah yang dialami Qiandra, tokoh utama dalam cerita ini. Akibat adegan pertemuan klise, Qiandra rela melakuka...