20

22.8K 3.9K 154
                                    

Kalo ada typo kasih tau nanti saya benerin.

Happy Reading and Enjoy!!

.

.

💀💀💀💀

Hujan

Salah satu peristiwa yang membawa kebahagiaan juga kesedihan. Di bawah air hujan kita bisa tertawa juga menyembunyikan tangisan. Hujan yang mampu menyimpan rahasia kita dengan aman, dibawah air hujan kita bisa menangis dengan puas tanpa rasa malu atau tatapan kasihan dari seseorang. Tak ayal banyak juga yang membenci hadirnya hujan, karena menghambat aktivitas normal.

Rintik hujan yang menenangkan itu membawa langkah Cleo dengan pandangan lurus kedepan. Tak ada yang berubah dari raut wajahnya, tetaplah datar tanpa ekpresi sama sekali.

"Hujan yang menenangkan." gumam Cleo seraya menatap jalanan sepi.

Ditangan gadis itu ada sebuah pisau lipat tajam dengan ukiran mawar digenggamnya. Tatapan Cleo menajam sesaat setelah mengingat apa yang terjadi padanya.

"Allexon Theodhore Maxtren, lo emang cari mati!" desis Cleo penuh dendam.

"Jangan menyesal jika mafia yang lo banggain hancur dalam hitungan detik." lanjut Cleo kembali tenang.

Cleo meneruskan langkahnya menuju sebuah rumah sederhana. Ia harus membersihkan diri sebelum memulai rencana miliknya.

"Pramitta giliran lo!"

Hanya itu yang Cleo ucapkan setelah menelfon nomor Pramitta. Ia bergegas mandi dan berpakaian rapi lalu pergi dari sana.

💀💀💀💀

Dilain tempat, Pramitta yang mendengar ucapan Cleo tersenyum penuh arti. Ia menatap kedepan di mana dua orang berbeda jenis tengah berbincang.

"Irana." lirih Pramitta pelan

Pramitta terus mengikuti langkah kedua orang itu hingga sampai disebuah hotel mewah. Senyum sinis terpatri dibibirnya, ia memberi aba aba pada dua anak buah yang dibawanya.

"Bawa gadis itu, sisanya bunuh lalu buang. Jangan sampai ada jejak!" perintah Pramitta.

"Baik nona!" balas mereka.

Pramitta terus menjadi pengamat sampai Irana berada ditangan anak buahnya. Ia mengangguk lalu beranjak pergi dari sana.

"Belajar jadi psycho dulu muehehehe."

Pramitta dengan riang mengendarai mobilnya menuju suatu tempat. Sesekali tatapannya mengarah kejalanan.

"Gadis yang malang." gumam Pramitta seraya menatap seseorang.

Tak berapa lama Pramitta tiba di sebuah rumah minimalis yang terlihat tak terawat. Gadis itu dengan asal memarkirkan mobilnya lalu masuk kedalam rumah.

"Di mana?" tanya Pramitta kepada bawahannya.

"Ruang biasa nona." jawabnya.

Pramitta mengangguk lalu berjalan perlahan menuju sebuah ruangan. Ia membuka pintu warna merah darah itu perlahan. Dapat ia lihat Irana yang berbaring terlentang dengan kedua tangan dan kaki yang membentuk huruf X.

Raut wajah Pramitta hanya datar, ia duduk di sofa yang menghadap persis kearah Irana. Tangannya terulur menuangkan sebuah minuman di gelas kecil yang sudah tersedia.

"Wah red wine memang tidak pernah mengecewakan," gumam Pramitta sesaat setelah menegak minuman itu.

"Nona, semua sudah siap." ujar bawahan Pramitta.

Not Just An Ordinary Character (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang