34 (End)

5.9K 449 32
                                    

Waktu bergulir. Sejak kesedianku memulai hubungan kembali dengan Arka, laki-laki itu rajin sekali main kerumah. Sudah terhitung satu bulan ini. Setiap jam kantor selesai, dia selalu menjemputku, padahal aku sudah bilang untuk nggak melakukannya, karena kalau begitu artinya dia harus berkendara memutar lebih jauh dari kantornya. Tapi dia keukeuh untuk tetap menjemput, ya sudah aku malah kesenangan.

Dan begitu sampai dirumah, dia nggak melewatkan kesempatan untuk mampir, sekalipun cuma sekedar cium tangan mama, minum air putih, terus pulang. Rumahku sudah seperti rumahnya. Begitu sampai, langkahnya akan langsung mengarah ke dapur tempat dimana Mama selalu bisa ditemukan. Mama tentu saja menyambutnya sambil berbinar-binar.

Weekend jadi puncaknya, sabtu minggu dia akan jadi anak baru Mama yang siap dimintai tolong kapan dan apa aja. Dia juga diberi izin untuk memanggil dengan sebutan Mama alih-alih tante seperti biasanya. Dengan luwes Arka menawarkan diri ikut berkecimpung mengolah bahan-bahan kue. Kali ini dia dapat jatah menyangrai tepung terigu, sedangkan aku duduk lesehan dilantai nggak jauh dari dia sambil mengayak tepung terigu yang sudah disangrainya. Heran, dia juga sama sekali nggak keberatan memakai celemek milik Budhe Sulis yang sudah nggak berbentuk itu.

Dari bawah, aku masih menatap Arka yang serius sekali mengaduk wajan yang penuh dengan terigu. Matanya benar-benar tidak teralihkan dari sana, mungkin dia takut membuat tepung terigu itu gosong seperti pada percobaan pertama. Dia harusnya santai saja, toh Mama nggak bakal bisa marah. Malah tadi Mama tertawa terpingkal-pingkal mendapati tepung terigu yang berkerak di permukaan wajan. Lihat, didepan mixer saja Mama, Budhe Sulis, dan Budhe Anggi masih terus komat-kamit sembari senyum-senyum menyorot Arka, topiknya tentu saja nggak jauh-jauh tentang aku dan laki-laki itu.

"Mas," aku memanggilnya pelan. Jangan tanya, dia ngotot sekali minta dipanggil begitu sejak dua minggu yang lalu.

"Hmmm," dia masih nggak mengalihkan tatapannya dari wajan.

"Kamu beneran luang banget?" Baru kali ini aku iseng bertanya. "Kamu hampir tiap hari loh kesini. Nggak dicariin sama orang rumah?"

"Malah Bunda yang minta aku untuk sering kesini terus."

"Buat apa?"

"Masak masih nggak tahu?" Dibalik ekor matanya dia menatapku sengit. Dia menengok kanan kiri, melihat situasi, "tentu aja buat pendekatan sama calon mertua," ucapnya pelan. "Aku dan keluargaku nggak mau lama-lama, By. Kamu denger sendiri kan kata mereka." Sudah dua kali aku bertandang kerumah Arka. Dan ya, kedua orang tua menyambut aku dengan baik, meminta kami untuk nggak berlama-lama lagi. "Aku mau yakinin Mama, jadi intensitas ketemu harus diperbanyak."

"Sekarang aja kalau kamu nyusul Mama disana, kamu minta aku, pasti dikasih. Liat, sekarang aja Mama masih mesem-mesem sambil nontonin kamu."

Saat itu juga dia melarikan tatapan pada Mama. Mama yang mendapatinya tentu saja langsung tersenyum makin lebar dan malah meminta Arka istirahat.

Dia balik menatapku lagi sambil menampakan senyum jumawa. "Lampu hijaunya terang banget ya?" dia terkikik sendiri sebelum kemudian mengaduk wajan beberapa kali dan mematikan kompor. "Tapi By, aku mau Mama bener-bener yakin sama aku. Aku mau Mama tau aku serius. Nggak cuma karena aku anak siapa, aku kerja apa, aku punya apa, tapi aku pingin Mama tau dan lihat sendiri kalau aku tepat buat putrinya." Dia duduk bersila didepanku, dibatasi baskom yang berisi terigu. "Udah siap, kan, buat langkah baru?"

"Ha?"

"Mama senggang, kan, nanti malam? Aku mau ngomong."

Itu bukan seperti sebuah pertanyaan melainkan pernyataan, karena setelahnya Arka berdiri melangkah entah kemana, tidak butuh jawabanku.

Mayday (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang