1. Tentang Mimpi

9.9K 651 10
                                    


Arka memilih untuk melelapkan tubuhnya di hotel yang berdiri tak jauh dari bandara internasional Ngurah Rai, Bali. Salah satu bandara yang selalu menerima kedatangan pesawat domestik maupun internasional. Yang hampir seluruhnya adalah wisatawan yang menagih bukti ke elokan Bali yang digembor-gemborkan.
Ia hanya ingin mencoba menyelingi rutinitasnya yang hanya berkutat pada seputaran bandara dan teknologi transportasi mutakhir yang bernama pesawat.
Tidur di tempat yang bukan menjadi privasinya itu memang menyebalkan. Dan ia sering melakukan hal itu disetiap waktu, saat jam terbangnya ada di sana sini. Tidur di sebuah tempat yang ada di sudut bandara, yang di peruntukan oleh awak kabin maskapainya dengan fasilitas yang ada. Tapi ia sedang dalam mode rindu sepi sehingga tubuhnya mampir di hotel ini. Karena tak semua pengunjung menginap untuk menikmati fasilitas, melainkan menikmati kesenyapan, kenyaman, dan privasi.

Membayangkan tidur di antara rekan satu kamar yang mondar-mandir kesana kemari pasti mengganggu. Dan Arka menerima itu semua karena ia suka menjadi seorang pawang burung besi alias Pilot.

Sebuah profesi yang selalu menjadi impian seorang anak ketika ditanya saat dewasa mau jadi apa. Dan anak cenderung akan melihat sesuatu yang terlihat bercahaya untuk diambilnya, merasa ia pantas mendapat itu. Sama halnya dengan cita-cita klise yang menjadi keinginan mereka, dokter, polisi dan tentara. Padahal banyak profesi-profesi lain diluar sana selain itu.

Arka enggan untuk kembali ke bandara. Ke basecamp dimana rekan maskapainya beristirahat. Dia ingin tidur lelap tanpa gangguan sekecil apapun bahkan gangguan suara jarum yang jatuh ke lantai sekali pun. Ia ingin jauh dari suara obrolan orang lain, derap langkah, maupun bunyi denting sendok yang beradu dengan piring atau gelas ketika rekan lain sedang makan dan minum kopi. Dia sedang ingin dipeluk kesunyian yang akhir-akhir ini langka ia dapat.

. . .

Pagi-pagi sekali ia sudah ada di lobi hotel, setelah sebelumnya melaksanakan sholat subuh. Meski profesinya sangat padat dan menuntut waktu, ia selalu tak lupa akan kewajiban. Meski kadang harus menjamak atau menggabungkan satu waktu dengan waktu lain akibat waktu terbang yang bertabrakan dengan waktu sholat.

Arka tengah berdiri di depan meja resepsionis. Mengurus administrasi cek out hotel yang di perlukan, ketika tatapan resepsionis hotel yang menatapnya terang-terangan dilayangkan. Rasa tak nyaman pasti ada, setiap ia menemukan tatapan wanita yang sama seperti resepsionis itu tunjukan.

Tatapan memuja dan ketertarikan yang ia tahu tak akan berarti apa-apa. Ia memang pawang burung besi tapi ia bukan pawang rasa yang berbau roman, ia merasa dirinya adalah orang yang tak pantas di sandingkan dengan suatu hal seperti itu.

Dia sadar dia menarik dalam segi penampilan, tegap, tampan, ditunjang dengan bentuk tubuh bak model majalah dewasa. Bentuk tubuh yang ia dapat dari memenjarakan diri di ruang gym dan olahraga tenis kegemarannya. Selain itu, seragam yang tersemat wing di dada, yang ia kenakan juga berkontribusi untuk mengundang tatapan mata wanita. Sebuah seragam yang umum dipakai oleh para rekan seprofesinya di Indonesia.

Ia tau semua itu, bukan karena kepercayaan dirinya yang terlalu besar atau tingkat kenarsisan yang di ambang puncak. Melainkan dari apa yang ia lihat di sekelilingnya, saat saudara kembarnya di dekati para junior dengan dalih minta diajarkan cara membuat jurnal umum. Dengan satu dalih lagi bahwa Azka saudara serupanya adalah murid olimpiade Ekonomi semasa sekolah dulu.

Saudara kembar identik tapi tak memiliki sikap dan kepribadian identik pula, itu lah mereka Arka Pradana Quraish dan Azka Prasetya Quraish. Bertolak belakang, seratus delapan puluh derajat, itu yang pantas mereka sandang. Dia bukan saudaranya yang gampang berbaur dengan apapun yang ada di sekeliling, tersenyum saat orang lain menatap, ekspresif, dan suka menjadi primadona. Sekali lagi dia bukan orang yang seperti itu. Mungkin jika dia orang yang seperti disebutkan tadi, ia tak akan sampai di sini, atau mungkin malah memilih mengajak berkenalan banyak wanita dengan prinsip 'siapa tahu jodoh'.
Tentang jodoh, ia percaya itu ada, ia hanya tinggal menemukan sosok itu di suatu tempat, tapi ia masih enggan untuk beranjak mencari. Dan untuk sekian kali ia ingin bilang 'ini semua hanya tentang waktu'.

Mayday (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang