6. Rumah klasik 2

4.4K 445 4
                                    

Tuhan tak akan pernah tega, melepas senja pada langitnya. Tuhan tak akan rela, jika malam dikuasai surya. Tuhan juga tak akan murka, bila Arka jatuh cinta.
Satu bulan sudah sejak kali terakhir Arka bertemu Deby. Tak ada perubahan dari pria itu selain hatinya. Hatinya berdesir saat nama Deby terlintas di kepala.
Jiwanya seperti terjeruji, karena dirinya sendiri yang memenjarakan. Berusaha menahan letupan rasa aneh yang meledak-ledak hanya karena Deby.
Kadang dia merasa gila akan debaran jantung yang berdetak tak karuan, sampai ia bertanya jantungnya kenapa?
Dia merasa dia bukan lagi dia. Slogan tentang dia dan roman hanya seperti kamuflase, jika sebenarnya dia adalah lelaki yang akan bertekuk lutut saat sekalinya cinta menyerang.
Bahkan jeruji yang ia pasang kuat-kuat sering kali lepas, ia kehilangan kendali untuk mengatur raga sampai kadang raga dan mobilnya terhenti dijalan tak jauh dari rumah Deby.
Ditambah dengan bunda dan adiknya yang berubah menjadi seorang penggemar novel milik gadis itu. Sejak kapan bunda dan adiknya menjadi penggemar Deby Anantara, Arka tak tau. Tapi yang jelas, ia sering kali melihat tumpukan lima seri novel Deby dimana-mana. Sekarang nama yang tertera disampul buku itu terasa mengganggu kedamaian jantung dan hatinya. Konspirasi apa yang sedang Tuhan jalankan untuk Arka sekarang? Sampai ia termakan oleh kata-katanya sendiri.

Disaat raganya lelah saja, pikiran masih tak kunjung lelah memikirkan gadis itu. Entah apa yang diucap bibirnya pada pak Radi sampai ia berakhir dialamat rumah Deby. Lelaki itu seperti terbawa angin begitu saja, sampai raganya berdiri di luar pagar rumah antik itu.

Masih dengan pakaian lengkap seorang pilot, Arka menjelma seperti orang linglung. Kakinya maju mundur untuk membuka pagar dihadapannya. Arka masih tak punya nyali berupa alasan untuk menjawab kenapa dia disini. Akan sangat memalukan, jika ia secara gamblang mengatakan kerinduan pada nona muda dirumah itu.

"Astagfirullah apa yang gue lakukan disini," gumamnya sendirian.
Matanya tertuju pada arloji yang melingkar dipergelangan tangan. Pukul sepuluh malam, sudah terlalu malam untuk taksi melintas digang rumah ini. Paling tidak lelaki itu harus berjalan lima ratus meter untuk keluar gang, dan menemukan taksi. Bodoh, Arka selama ini terlalu mengandalkan pak Radi selama pulang pergi ke bandara. Taksi online banyak merajalela, tapi tak satupun di ponselnya yang mempunyai aplikasi itu.

"Gila lo Arka, sumpah gila," racaunya. Lelaki itu mengacak rambutnya kasar.
Suara pagar yang dibuka mengagetkan kesadarannya. Lelaki itu buru-buru menggeret kopernya berlalu dari tempat itu. Berdoa, semoga orang di belakangnya tak mengenali. Namun sayang, langkahnya harus terhenti saat namanya dipanggil.

Itu tante Renata, ibunda Deby yang terlihat menatapnya tak percaya. Bahkan Arka menatap dirinya lebih jauh tak percaya. Diantara tamaram lampu di sudut rumah, lelaki itu dapat melihat senyum hangat ibu itu.

"Ini benar kamu Ka?" tante Renata mendekat.
Arka hanya menggangguk canggung, seraya tersenyum tipis.

"Ayo masuk, kenapa disini saja," wanita baya itu memaksa.

"Maaf tante, saya sedang menunggu jemputan," bohongnya.

Jemputan alam baka? Arka jelas ingat betul, kalau rumah sedang kosong sekarang, lengkap dengan seperangkat dua sopir keluarga. Lalu siapa yang akan menjemputnya. Malu jelas, dia seperti terpergok telah melakukan pengintaian.

"Sudah masuk saja. Lebih enak menunggu jemputan di dalam rumah, sambil minum teh. Ini juga sudah malam," ucap Renata lagi. Ibu Deby sama sekali tak menaruh rasa curiga untuk Arka.

"Makasih tante, tapi saya disini saja," tolaknya. Lelaki itu berfikir tentang wajah seperti apa yang akan ia tunjukan pada Deby jika ibunya mengatakan ia ditemukan didepan rumah. Arka ingin tertawa sekarang.

Sepertinya tante Renata tak menerima sebuah penolakan. Wanita baya itu menarik koper dari genggaman Arka. Membawanya masuk kedalam rumah. Dengan rasa malu yang terbawa oleh rasa terpaksa, Arka ikut melangkah dibelakang tente Renata.

Rumah itu terlihat sepi. Hanya suara televisi yang dibiarkan menyala menjadi teman akrab kesunyian. Ayah Deby duduk dikursi kayu sederhana, terlihat serius membaca buku ditangannya. Dahinya berkerut, saat menemukan Arka dibelakang istrinya. Seperti kurang jelas, lelaki baya itu menaikan kaca mata minus yang ia pakai.

"Nak Arka? Malam-malam begini? Kenapa?" Reaksi ayah Deby lebih sulit untuk Arka mencari celah. Otaknya yang terbiasa diasah untuk berpikir cepat, terasa lebih sulit diajak berkompromi malam ini.

"Tadi kebetulan mobil yang biasa antar jemput saya mogok om, pas didepan gang sana. Saya pikir mau menunggu jemputan dirumah om, tapi saya urungkan karena takut mengganggu. Tapi malah tante Renata keluar dan lihat saya," kilahnya.

Tak sia-sia Arka belajar banyak selama sekolah tempo dulu. Terbiasa menjawab pertanyaan-pertanyaan super sulit yang dilayangkan tiba-tiba. Rasanya jawaban yang ia berikan sudah cukup logis untuk diterima dikepala bapak itu sekarang.

"Istirahat disini saja, mau pulang juga sudah larut. Besok pagi saja pulangnya Arka," tawarnya.

Tawaran yang sangat buruk, pikir Arka. Matanya dari tadi tak menemukan aktivitas lain, selain aktivitas dirinya bersama om Gunawan dan tante Renata. Gadis itu tak ada dirumah?

"Sudah tau kan kalau Dody sudah balik ke Amerika?"

"Sudah om."

Tiga minggu yang lalu Arka sudah tau kalau Dody kembali ke Amerika. Kalau tidak, ia akan menjadikan Dody sebagai alasan untuk kerumah ini setiap waktu.

"Kamu menginap disini saja, bisa tidur dikamarnya Dody. Deby juga sedang tidak dirumah."

"Kemana?" tanyanya.
Otaknya seperti berjalan dengan sangat baik jika itu berurusan dengan Deby Anantara.

"Seminggu yang lalu pergi Kelabuan Bajo, besok baru sampai rumah," jelasnya.

Arka hanya manggut-manggut. Ada banyak pertanyaan yang melayang-layang dipikiranya. Tapi ia usahakan untuk ditekan kuat, jangan sampai terucap. Tentang, dengan siapa? Untuk apa? Apakah dia baik-baik saja disana? dan masih banyak lagi.

"Ada sih mobil dirumah ka, tapi disini nggak ada yang bisa antar. Jadi menginap disini saja. Yang bisa bawa mobil cuma Deby dan Dody."
Tante Renata datang dengan dua cangkir teh di nampannya.

Arka jadi ingat dengan mobil yang selalu ditutup parasut terpakir di luar rumah. Mobil itu nampak jarang dipakai karena debu yang menempel di beberapa sisi parasut yang menutupi mobil itu. Arka belum tau jenis atau merek mobil di dalam parasut itu.

"Tidur saja dulu Ka. Koper kamu sudah ada didalam kamar Dody," ucap Renata melihat Arka yang sudah menguap. Lelaki itu duduk menemani sepasang paruh baya itu menonton film india yang sama sekali tak bisa ia pahami.

"Tante nggak merekomendasikan kamu untuk mandi jam segini. Jadi langsung tidur saja, besok pagi saja mandinya. Oh iya, kamar Dody ada disana. Kamu tinggal masuk saja ke balik tembok itu. Nah kamar Dody disana," Renata menunjuk pada tembok pembatas antara ruang keluarga dengan kamar Dody.

Arka pamit dari mereka semua, entah perasaan apa yang mendasari Arka bisa sedekat ini dengan orang tua Deby. Ia seperti berada dalam rumahnya sendiri. Padahal hanya satu kali mereka bertatap muka. Namun mereka semua sudah bisa menerimanya dengan sangat baik.

Lega saat tak menemukan Deby dirumah ini. Namun ada rasa kecewa yang terbesit diantara tumpukan rasa lega yang ia punya. Meski begitu Arka merasa nyaman, berada dirumah yang sama dengan wanita itu dibesarkan. Arka seperti bisa mengelupas satu demi satu rasa penasaran pada gadis itu, melalui jejak yang ditinggalkan dirumah ini.

Langkah gontai Arka membawanya didepan dua pintu yang berbeda. Rasa kantuk yang teramat membuat Arka memilih asal dua pintu yang saling bersisian. Arka memilih masuk kedalam kamar sebelah kiri. Membuka pintu yang tidak terkunci dan membanting tubuhnya di ranjang yang ada disana.

Kesadaran Arka langsung terenggut oleh mimpi. Sampai ia belum menyadari kejanggalan yang ada didalam kamar itu. Kamar bernuansa putih dan pink. Dengan aroma stroberi sebagai pewanginya. Terasa tak masuk akal, jika ruangan persegi itu dimiliki oleh seorang lelaki tulen seperti Dody.

Mayday (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang