32

3K 396 45
                                    

Hay hay hay....
Welcome back sobat online
Minggu kemaren aku janji buat up, dan ingkar T_T maafken aku ya semuaaaaaaaa, aku bersalah. Maka mulai sekarang, aku teguhkan untuk nggak buat janji-janji lain. Manusia banyak betubahnya....

Happy reading gaes....

.

.

.

Sejak Arka bertanya kabar, lalu kemudian ia menerangkan jika hidupnya nggak cukup baik sejak lima tahun lalu, aku tidak menanggapinya apa-apa. Memangnya aku harus bilang apa?

Seperti perempuan yang merasakan kandasnya asmara, aku juga sama kacaunya pasca aku melepasnya saat itu. Tapi syukurnya aku dapat meredakan perasaan galau, sedih, dan kekacauan itu selama aku menjadi relawan pengajar di Papua beberapa bulan. Sempat merasa percaya diri, karena aku merasa baik-baik saja disana, artinya perasaanku pada Arka tak sedalam yang aku kira.

Namun ketika kembali ke Jakarta, jangan tanya lagi. Tingkat kepedeanku itu luntur. Kesempatan libur kerja yang diberikan kantor setelah pulang dari Papua, hanya aku pakai untuk bergelung di atas kasur sambil meratapi nasib, membodohi diri, berandai, dan menyalahkan diri. Aku menangis di kamar dengan menghabiskan lembar-lembar tisu. Harusnya aku bisa tutup mata tentang Arka yang jarang berbagi tentang dirinya. Harusnya aku cukup sabar menanti sampai Arka sendiri memperkenalkan aku pada keluarganya. Seharusnya aku cukup mengerti dia. Seharusnya aku nggak menuntut banyak. Seharusnya, seharusnya, dan seharusnya, kata itu terus saja bercokol dipikiranku.

Aku selalu berhasil memainkan karakter seseorang melalui novel, mengembangkan sudut pandang mereka. Tapi di kehidupan nyata, keahlianku itu nol besar! Aku tidak memakainya! Seperti orang bodoh, aku lupa menilai dari sudut pandang Arka.

Tapi ya sudah. Masa galau itu berlalu, aku bisa melanjutkan hidup meski kadang masih menengok kebelakang. Tidak ada rasa sakit yang selamanya akan bertahan, kan? Setidaknya ia akan sedikit terobati seiring berjalannya waktu.

Setelah sekarang dipertemukan kembali dengan sebuah kebetulan yang tiada habisnya, aku tersadar kalau aku selama ini belum benar-benar bisa melupakan Arka. Rasa itu belum lenyap oleh waktu, hanya bersembunyi disudut hati yang tak terjamah, hingga aku salah mengartikan. Aneh, padahal Tamara selalu mengatakan itu, kan? Hal itu tetap saja mengejutkan saat mengetahuinya sendiri. Kesadaran itu seperti memukulku telak. Ditambah dengan detak jantung yang bekerja keras oleh lonjakan adrenalin, aku terus berdiri salah tingkah disebelah Arka saat menunggu lift membawa kami turun ke ballroom.

Di lift ini kami tidak sendiri. Ada sepasang suami istri paruh baya yang mengaku sebagai salah satu kerabat jauh Mbak Rara. Katanya, mereka baru saja menengok cucunya yang sedang istirahat dengan ibunya disalah satu kamar. Sesekali mereka berceloteh pada kami. Dan suatu keajaiban, Arka yang sekarang adalah Arka yang dapat menanggapi perbincangan mereka dengan ramah dan luwes.

"Pak, kita belum foto di tempat anak-anak muda foto itu lho?" tanya ibu paruh baya itu pada suaminya.

"Tempat yang mana?" tanya suaminya.

"Yang dihias cantik itu lho. Yang ada tulisan nama Rara dan Jonathan, terus ada bunga-bunga dan lampunya. Apa ya namanya, ibu lupa? Ada Bot botnya gitu kalo nggak salah namanya, Pak."

"Mungkin Photo booth, Bu. Memang dipakai buat tamu kalau ingin foto," jelas Arka.

"Iya, betul Potobut!" sambut sang ibu dengan antusias. Saking antusiasnya dengan jawaban Arka, ibu itu sampai memukul keras lengan Arka dengan semangat. Arka? Laki-laki itu tergelak.

"Mas, jan, nggak cuma ganteng saja, tapi juga pinter ," tambahnya lagi sebelum beralih lagi pada suaminya. "Nanti kita foto disana ya, Pak? Nanti Ibu mau aplod di Fesbuk."

Mayday (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang