13

4K 491 27
                                    

Sejak insiden sore tadi, tentang botol terbang karangannya, Deby enggan keluar dari sepetak ruang privasinya. Ini sudah pukul tujuh lewat, artinya sudah lebih dari dua jam ia bertahan di dalam kamar. Ibunya pun tak menaruh curiga, karena putrinya biasa melakukan banyak hal di dalam kamar dan berkutat dengan rangkaian aksara.
Arka sudah melangkah pergi dari rumah gadis itu tepat setelah adzan maghrib. Tapi tetap saja, akal Deby masih enggan beranjak dari sana. Apalagi jika harus melewati ruang tengah yang akan mengingatkan dirinya dengan tingkah bodoh yang ia perbuat bersama botol sialan itu.

Deby keluar kamar setelah pintunya diketuk oleh ibunya lima menit yang lalu. Ia segera beranjak dari sana, dan meringis tiba-tiba ketika langkahnya sampai diruang tengah akibat ingatan sore tadi yang kini kerab absen sejak dua jam ini.

Ayah dan ibunya terlihat berbincang akrab ketika langkahnya sampai di ambang dapur. Suara senandung lagu lawas keluar dari bibir ayahnya. Terkadang juga ibunya ikut bernyanyi disela-sela lirik yang masih diingatnya seraya tangan tak lupa mengaduk kopi hitam yang baru saja seduh.

Deby tersenyum, banyak hal yang mungkin keluarga lain tak punya, bahkan untuk hal sederhana yang saat ini ia lihat. Ia duduk di meja makan tepat disebelah ayahnya, ia juga ikut menyenandungkan sebaris lirik penutup lagu yang ia tau.
Deby menggoda sepasang insan itu. Sepasang insan yang membuatnya selalu bersyukur karena menjadi putri dari wanita selembut ibunya, dan lelaki sekuat ayahnya.
Ibunya tersenyum maklum, sedangkan ayahnya justru merangkulnya kuat.

Ia hendak mencomot jeruk yang tersaji di sana, tapi belum sampai tanggannya menjangkau jeruk itu, ibunya sudah menepuk jemarinya yang terulur.
"Kamu belum isi perut dengan nasi sayang, jangan makan jeruk dulu."

"Tapi pengen ma."

"Kamu juga pengen maag kamu kambuh?"

"Iya iya, mama kaya dokter deh." Pada akhirnya Deby menyerah dan memilih bangkit untuk mengambil piring di dekat meja kompor.

Ia duduk kembali di kursi meja makan dengan piring yang sudah ada ditangannya.
"Kalian sudah dekat dari kapan?" todong ayahnya tiba-tiba.

Dahi gadis itu berkerut, ia menunjuk dirinya sendiri untuk mengkonfirmasi pertanyaan ayahnya yang sebenarnya ditunjukan untuknya atau bukan. Kata 'kalian' yang ayahnya ajukan masih ambigu untuk Deby cerna.

"Kamu sama Arka?"

Mata Deby membola seakan ingin jatuh, ia tak menyangka kata-kata yang sangat menguliknya keluar dari mulut ayahnya.

"Tadi Arka bicara sama papa. Dia izin sama papa buat dekat dengan kamu, bangun komitmen dengan kamu katanya," ucapnya ayahnya. Lelaki paruh baya itu menatap putrinya yang terdiam. " Dia juga bilang kalian sudah sepakat untuk memulainya. Papa lihat Arka pria yang baik jadi papa nggak masalah dengan itu.  Tapi papa minta, jika kalian memang ingin  membangun hubungan seperti itu,  bangun dengan cara yang sehat. Papa yakin Deby tau maksud papa."

...

Deby masih saja teringat dengan yang ayahnya katakan semalam. Batinnya tak hentinya bertanya 'serius itukah Arka dengan ku?' Padahal kerap kali gadis  itu masih saja meragu. Lelaki itu bahkan berani meminta izin pada ayahnya tanpa sepengetahuan Deby. Apakah hanya dirinya saja yang bermain peran kekanakan, yang asal menjawab iya, tanpa introgasi perasaan. Sampai sekarang Deby masih sulit menerawang perasaan apa yang mungkin masih dimiliki, masih dirasa dan masih bersembunyi.

Keluar dari kungkungan rasa pada satu orang saja masih ragu ia jawab iya. Menganggap ditinggalkan padahal tak ada yang meninggalkan terasa miris untuk didengar. Menggali rasa tentang cinta, mau tak mau membawanya pada nama Radja yang kembali hadir dari dalam kotak lama yang telah diceburkan. Esensi hubungan seperti apa yang ia miliki bersama Radja sampai Deby merasa ditinggalkan?

Mayday (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang