11. Komitmen

4.8K 624 38
                                    

"By, menurutmu terlalu banyak nggak sih sebuah kebetulan yang terjadi untuk kita berdua?"

"Maksudnya?" kepala Deby mendongak pada Arka yang duduk dihadapannya. Gadis itu baru saja ke toilet atas panggilan alam juga sekalian untuk mencuci tangan.

"Tentang pertemuan kita selama ini."

Meja didepan mereka sudah bersih, Deby membenahi posisi duduknya yang kurang nyaman. Gadis itu menopang dagu dengan tangan kanannya kemudian menatap Arka. "Pertemuan kita masih normal-norma saja kok," balasnya. Hingga asumsinya berubah saat kembali mengulang dan mencerna lebih dalam pertanyaan Arka di kepala. Ia teringat kejadian itu. "Salah. Maksudku, kebetulan tentang kita terlalu berlebihan."

Mata Arka terbuka makin lebar, merasa bukan hanya dirinya saja yang merasakan kebetulan itu. "Jakarta terlalu sempit untuk kita," ucapnya pelan.

"Bukan hanya Jakarta yang terlalu sempit untuk kita. Tapi Indonesia juga ikut menciut untuk kita berdua, Ka," Deby berucap dengan atensi tertuju pada ponsel karena bunyi notif masuk.

Mata Arka memicing, sorotnya seolah bertanya kenapa pada Deby. Hingga membuat gadis itu mengulang kata-katanya kembali.

"Jadi kamu masih nggak ingat?" ucap Deby dengan intonasi yang naik. Ia mendengus kesal pada lelaki dihadapannya. "Menurut kamu, dimana pertama kalinya kita bertemu?"

"Di bandara."

"Jadi kamu benar-benar nggak ingat?" ulangnya lagi. "Baiklah, mari kita ingatkan kembali kepalamu yang terlalu lama di luar angkasa itu."

Deby menceritakan kejadian saat pertemuan mereka pertama kali. Tepatnya di Bali, disebuah hotel pada pagi buta. Saat mereka sama-sama cek out hotel, mereka dipertemukan oleh barang dari masing-masing yang tak sengaja bersisian dan bertaut. Berupa benang yang mencuat dari jaket usang Arka yang tak sengaja tersangkut resleting ransel gadis itu.

Mata Arka membola. Bibir pria itu tersungging setelah Deby usai bercerita. Terdengar juga lirih tawa Arka yang masih tertangkap telinga gadis itu.

"Jadi itu kamu?" ucapnya menatap lekat Deby. Tawa Arka terdengar semakin lantang, sampai membuat kekhusyukan makan setiap orang tertuju pada mereka berdua. Deby mendelikan matanya pada Arka. "Kalau tau itu kamu, aku bahkan nggak berani bersikap kaya gitu, By. Kalau perlu aku akan sujud sembah, saat tau kalau ternyata yang aku ganggu adalah singa betina seperti mu."

Meski ditertawai oleh Arka dengan sebutan singa betina, Deby hanya mampu melongo. "Dia tertawa? Jadi dia normal?" gadis itu membatin.
Sekarang kedamaian Deby kembali terenggut karena tawa Arka. Akibatnya, atensi beberapa gadis tertuju pada mereka kembali.

"Ma-af." Deby kembali mencibir dengan menirukan gaya Arka yang datar saat mengatakan kata itu. "Jenis permintaan maaf macam apa itu. Aku jadi curiga, bagaimana cara kamu lulus sampai dapat lisensi terbang dengan etika bobrok seperti itu."

"Sifat orang bisa berubah, mengimbangi situasi dan kondisi. Yah... semacam power ranger gitu deh. Tapi ada kalanya, sifat sesungguhnya seseorang akan terbuka dengan sendirinya pada orang-orang yang memang tepat."

"Aku setuju. Tapi kalau manusia jenis kamu ini bukan mengimbangi situasi dan kondisi. Melainkan memang sudah kelainan."

"Aku anggap itu pujian," ucapnya.

"Kita harus keluar sekarang. Ini jam makan siang, banyak yang mengantri diluar sana. Aku nggak mau merasa berdosa dengan membuat sakit lambung orang lain." Mereka berdua beranjak dari tempatnya. Sebelumnya Deby juga sudah membayar makanan yang ia santap di kasir. Melihat bagaimana penuhnya ruangan ini dan beberapa orang yang masih berdiri di luar sana, membuat hati Deby tergerak.

Mayday (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang