21

3.4K 436 27
                                    

Berulang kali aku ingin memutuskan untuk menghubungi Arka lebih dulu karena hampir seminggu ini lelaki itu hilang seperti udara. Sekedar untuk mengetik beberapa kata saja aku tak berani, alhasil pengakhiran perang dingin diantara kami berujung pada wacana semata. Aku tidak mengerti semarah apa dia, tapi yang pasti aku merasa ada rutinitasku yang hilang ketika aku menyalakan ponsel.

"Mau sampe hujan ketombe juga, dia nggak bakal chat lo duluan kalau lo nggak inisiatif lebih dulu Juminten. Gengsi kok dipelihara, kambing tuh dipelihara biar gemuk."

Aku lupa kalau sedari tadi aku ditempeli oleh mbak kunti yang tak henti mengomel. Siapa lagi kalau bukan Tamara. Seminggu ini dia menjadi malaikat sisi baikku yang selalu berbisik untuk menghubungi Arka lebih dulu. Mungkin karena ia terlalu lama menjomblo, ia lebih suka menggangguku jika kesempatan ia temukan.

"Taksi online-nya udah dapet?" Aku bertanya padanya yang kebagian memesan taksi online untuk hari ini.

"Siapa juga yang pesan taksi online."

"Terus dari tadi lo ngapain?"

"Cuaca kaya gini susah cari taksi online sayang, apa lagi ini jam pulang kantor."

"Terus dari tadi kita ngapain berdiri disini?"

Bukannya memberikan jawaban yang memuaskan, Tamara malah mengucap kata 'gampang' tanpa suara seraya cengingisan. Kadang cengingisan gadis itu bisa berkonotasi banyak hal, tapi ya sudahlah.

Aku menyingkap lengan kemeja untuk mengintip arloji yang melingkar dipergelanganku. Tidak salah, ini adalah jam paling sibuk para taksi online untuk menjemput rejeki dari para karyawan miskin seperti kami. Hujan yang masih deras sedari tadi juga tak memberikan harapan kalau cuaca akan segera membaik. Kadang hidup mamang sesial ini.

Sampai beberapa menit kemudian aku sampai harus mengedipkan mata beberapa kali, saat jeep milik seseorang yang memenuhi kepalaku beberapa hari ini berhenti dipelataran kantor tak jauh dari aku dan Tamara. Aku juga menahan nafas saat lelaki itu keluar dari mobil untuk membelah hujan dan melangkah cepat kearahku.

Tamara..!! Seketika aku memeloti gadis yang kembali asik cengangas-cengingis tanpa dosa.
"Gue kasih dorongan dikit. Habis greget sama lo," bisiknya ditelingaku. Ia bergeser beberapa langkah menjauh dariku. "Fighting!" tambahnya dengan mengepal tangan diudara.

"Dijalan macet parah, jadi agak telat," kata Arka tepat saat kakinya berada disampingku. Aku rasanya ingin menangis mendengar itu, lelaki yang kurindukan seminggu ini akhirnya kembali dan masih sama. Seperti tanpa ada masalah, ia mengucap kalimat itu tanpa embel-embel  sinis dari nada berbicaranya.

Aku menatapnya yang sedang mengibas jaketnya yang basah. Mungkin karena merasa ditatap, ia balik menatapku. "Maaf, kelamaan nunggu ya? Kulit kamu sampe pucet gini By."
Kurasa kulitku memucat bukan karena udara dingin, melainkan jantungku yang lupa memasok darah saking sibuknya berdetak senang.

"Nggak kok."

"Mau pulang sekarang?"

"Tamara?"

Jelas Tamara menguping sejak tadi, jadi ia sigap menjawab. "Cowok gue jemput Ka. Kalian duluan aja."

"Tapi lo nggak ada pacar."

"Siapa bilang, lo aja yang nggak tahu."

Baiklah aku menyerah, bagaimanapun aku berusaha membujuk Tamara untuk ikut dengan kami, gadis itu juga akan mengeluarkan seribu jurus untuk menolak. Karena ini juga bagian dari rencananya, mana mungkin dia dengan ikhlas merusaknya.

"Kamu lupa bawa power bank, sampe harus hubungi aku lewat Tamara?" tanyanya memecah hening didalam mobil yang melaju.

Aku hanya diam seribu bahasa, karena memang aku juga bingung harus berkata apa. Berfikir haruskah jujur atau mengikuti jalan cerita yang dibangun Tamara yang artinya aku harus berbohong. Dan aku memilih diam sebagai jalan tengahnya. Aku hanya bisa berdoa semoga saja aku tidak lupa mematikan dering ponselku tadi.

Mayday (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang