13. SIALAN

8 1 0
                                    

Daniel mulai menggaruk-garuk tengkuknya yang sama sekali tak gatal. Kepalanya mulai memanas, otaknya sama sekali tak bisa berfikir. Semua yang ada di depannya hanyalah angka dan angka. Bisa rontok semua rambutnya jika semua mata pelajaran sesusah ini, tapi untung saja tidak.

Terpaksa, mau tidak mau Daniel harus mengesampingkan egonya. Sayangnya dari sekian banyak murid di kelasnya seketika semuanya menjadi tuli ketika dipanggil. Tak ada seorangpun yang mau menoleh ke arah Daniel ketika dipanggil. Alasan yang pertama karena mereka tau kalau Daniel yang memanggil pasti hanya untuk meminta contekan, selain itu alasan yang membuat mereka ketar-ketir adalah guru yang di depan adalah salah satu guru killer. Jika bercanda bisa sangat menghibur tapi jika sedang marah jangan ditanya, seramnya bukan main.

Sekarang hanya Gema satu satunya peluang yang tersisa agar dirinya bisa selamat. Terserah jika dia harus dikatakan gagal dalam tantangannya dengan Gema tadi saat di kantin atau apalah itu. Yang terpenting adalah dirinya dan nilainya bisa selamat saat ini.

Daniel mulai mengumpulkan keberaniannya, menoleh ke kanan dan ke kiri mencoba mengamankan situasi.

"Gema!" Panggil Daniel lirih.

Gema yang dipanggil hanya diam, tetap fokus pada lembar jawabannya yang sebentar lagi akan selesai dia isi dengan jawabannya.

Daniel sedikit kecewa, namun dia tidak akan menyerah begitu saja ini demi nilai. "Gema! Please dong!" Panggilnya untuk kesekian kali.

"Gema!" Yang dipanggil pun hanya menoleh, tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.

"Perhatian! Untuk yang sudah selesai silahkan di kumpulkan tugasnya, buat yang belum waktunya sepuluh menit lagi." Instruksi pak Tono membuat Daniel beringsutan. Antara takut belum selesai dan ketahuan meminta minta contekan.

Kepanikan Daniel bertambah ketika Gema mulai bangkit dari tempat duduknya. Sudah pasti tamat riwayat Daniel, andai ada keajaiban turun dari langit yang bisa menyelamatkannya.

Daniel menatap sedih langkah Gema. Tidak ada contekan kali ini, maka ia akan menerima hasil apa adanya saja.

****

Barisan buku buku yang berjajar rapih seketika membuat Senja kebingungan hendak memilih yang mana. Tapi mencari buku diantara ribuan buku tak sesulit mencari jarum dalam tumpukan jerami, bukan?

Senja kembali fokus mencari buku yang Pak Cipto suruh. Senja harus menemukannya hari ini agar tugasnya cepat selesai.

"Mana ya bukunya, susah banget dicari lagi." Monolog Senja.

Lama mencari, hingga sorot matanya berbinar menemukan buku itu. Kata pak Cipto buku itu hanya ada beberapa buah di perpustakaan. Bukannya tidak lengkap atau bagaimana, hanya saja buku itu adalah salah satu buku lawas di perpustakaan sekolah ini. Dulu mungkin jumlahnya banyak, namun karena satu dan lain hal, dari koyak dimakan usia hingga hilang mungkin jadi faktornya.

Tinggal sejengkal lagi tangan mungilnya berhasil meraih buku itu. Namun sebuah tangan kekar sudah lebih dulu meraihnya.

"Kak itu punya Senja. Tolong balikin please...!"

"Sejak kapan ini punya lo? Ini kan buku perpustakaan yang berarti ini milik umum bukan pribadi." Jawabnya.

"Kak Gema, Senja mohon kak balikin. Nanti tugas senja gak selesai gimana?"

"Gak!" Tegas Gema.

"Tapi kan Senja duluan yang liat buku itu."

"Tapi gue duluan yang ambil, mau apa lo?" Mata Senja mulai memanas.

"Kak Gema punya masalah hidup apa sih sama Senja? Kenapa setiap ketemu Senja sekali aja gak bikin gara-gara bisa enggak sih? Senja capek kalau harus berantem terus ketika ketemu kak Gema." Cerocos Senja panjang lebar.

Gema hanya diam mendengarkan ocehan Senja yang sangat sangat unfaedah menurutnya. "Sudah selesai ngocehnya?"

"Gigi kamu ada cabe nya, itu merah." Lanjut Gema.

Sial. Belum sempat menetralkan napas Senja kembali dibuat naik darah oleh Gema. Seketika itu juga matanya melotot. Takut takut mata Senja akan keluar dari tempatnya.

"Bohong!" Senja merogoh saku rok sekolahnya. Mengambil sebuah gawai dengan case berwarna pink.

Gema hanya memperhatikan tingkah Senja yang menurutnya rempong dengan wajah khasnya, datar. Mulai dari Senja yang sibuk mencari gawai di saku nya hingga tingkah Senja yang menjadikan gawainya sebagai kaca.

Lama memperhatikan membuat Gema lelah. Ia kemudian berjalan meninggalkan Senja seorang diri yang masih sibuk mencari cabai di sela sela giginya.

"Mana kak, enggak ada tuh cab-" Senja dibuat melongo kembali dengan hilangnya Gema dari hadapannya.

"KAK GEMA SIALAN...!" Senja lupa kalau ia sedang berada di perpustakaan. Mulutnya seperti kendaraan yang sedang mengalami rem blong. Tidak dapat dikendalikan sama sekali.

Seketika itu pula semua pasang mata tertuju padanya dengan berbagai tatapan mengerikan. Peluh mulai bercucuran karena menahan malu. Bagai bertengkar dengan kucing di kandang harimau. Kucingnya kabur kini tinggal harimau harimau lapar yang siap menerkam.

Senja hanya dapat membungkukkan badannya sedikit dan menampilkan deretan giginya kemudian berlari kecil. Masih dengan pandangan yang tertuju ke bawah.

Bruk...

Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Mungkin itu perumpamaan yang benar benar cocok untuk Senja saat ini. Buku yang dicari untuk menyelesaikan tugas tidak dapat, bertemu dengan orang yang selalu membuat hari harinya berantakan, jadi pusat perhatian di perpustakaan dan sekarang apa? Pinggangnya menabrak ujung meja. Sungguh sakit yang luar biasa tak dapat dijelaskan hanya dengan kata kata, tapi harus dirasakan sendiri sensasinya.

Masih dengan rasa sakit yang ia tahan. Senja terus saja mengomel sepanjang lorong menuju ke kelasnya. Tidak perduli sebanyak apa pun orang yang melihatnya dan hendak mengomentari apa pun orang lain Senja sudah tidak perduli. Yang terpenting ia tengah emosi sekarang ini.

"Senja?" Ucap seseorang dari arah yang berlawanan dengan Senja.

"Eh," seketika senja menghentikan ocehannya.

"Kamu Senja kan?" Ucap seseorang itu lagi. Memastikan takut jika salah menyapa.

Senja dibuat gugup oleh pria itu. Bagaimana tidak, entah bagaimana seorang pangeran tiba tiba menyala Senja yang hanya rakyat jelata. Bagaimana mungkin Senja tidak dibuat meleleh dengan parasnya yang rupawan itu?

"Iya, Senja. Kak Tino ya?" Tanya Senja.

Tino hanya mengangguk. Sial wajahnya semakin tampan dengan keringat yang membanjiri seluruh bagian tubuhnya. Rambutnya yang berantakan semakin menambah kadar ketampanannya.

Semakin keras remasan Senja pada tangannya sendiri. Kenapa Senja harus menghadapi situasi seperti ini. Memalukan saja dengan tingkahnya sendiri.

Tino melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Senja. "Hei?"

"Kok malah melamun?" Lanjutnya.

Senja kembali tersadar, "Eng-enggak kok kak. Enggak melamun."

"Ya sudah, gue duluan ya mau ke ruang ganti dulu."

Tino memegang tangan Senja. "Jangan diremas nanti sakit."

'Tuhan, tolong bantu Senja menghilang dari bumi ini sebentar saja.'

Senja berusaha menetralkan detak jantungnya. Sepertinya jantungnya jin hendak lompat dari tempatnya. Ingin rasanya Senja menjerit tapi Senja masih sadar akan malunya. Cukup tadi ketika di perpustakaan saja ia menanggung malu. Sekarang tidak mau lagi.

GEMA SENJA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang