Masih setia dengan senyum yang masih enggan luntur dari wajah Senja. Sepanjang koridor sekolah pun Senja masih saja tersenyum mengingat kejadian tadi. Ketika bertemu dengan Tino.
"Woi! Kesambet setan mana lo? Tegur Vera.
Memang dasarnya teman tidak ada akhlak, melihat teman bahagia saja masih di samakan dengan orang kesambet. "Kesambet cintanya cogan, aaa..."
"Anjir, beneran gila ini anak satu."
"Lo kenapa sih sebenernya?" Tanya Vera.
Senja melirik Vera yang kini sedang duduk di sampingnya, "kan tadi udah bilang kalau lagi kesambet cintanya cogan."
"Gaya lo kesambet cogan, kang toge aja lari ketemu sama lo." Kata-kata Vera bagi Senja sangat-sangat menyayat ulu empedu.
"Dih, emang gue apaan? Seseram itu kah? Bukanya itu lo ya?" Vera terdiam ketika di berondong ocehan Senja. "Oh, gue tau. Mereka tuh lari karena gk kuat liat titisan bidadari yang turun dari kayangan. Iya, pasti gitu."
Vera hanya menganga mendengar penuturan Senja barusan. Baru kali ini Vera mendengar Senja berbicara seperti itu dan sangat PD dengan dirinya. "Dih dari kayangan, dari angkot gue baru percaya sama lo."
"Gayamu dari kayangan, naik angkot aja masih ngutang." Lanjut Vera.
Perkataan Vera barusan berhasil membuatnya di hadiahi sebuah pukulan di bahunya. Tak lupa juga dengan tatapan Senja yang melotot. Membuat Vera takut jika nanti jika mata milik Senja copot dan keluar dari tempatnya. Itu sangat menyeramkan bukan?
Senja kini mencoba mengatur napasnya. Mempunyai teman tidak berakhlak seperti Vera benar-benar menguras tenaga dan kesabaran. Belum lagi perkataannya itu, apakah tidak bisa dia mengalah sedikit. Setidaknya membuat hati sahabatnya yang sedang bahagia ini menjadi lebih bahagia, bukan malah membuatnya hancur tak karuan seperti ini.
"Ngomong-ngomong kesambet cogan mana lo?" Vera nampak berpikir.
"Kak Gema ya?" Celetuknya. Sukses. Satu pukulan lagi mendarat dengan mulus di bahu Vera.
"Sakit Maemunah...! KDRT ini namanya."
"KDRT pala mu itu. Kita aja gak pernah ada hubungan." Ujar Senja santai.
"Lalu selama ini kamu anggap aku apa mas? Tega kamu mas!" Senja di buat geli dengan kelakuan dari Vera. Bahkan kini banyak dari teman kelasnya yang beralih menatap mereka berdua.
Kemudian Ogi, teman kelas Senja yang walaupun dia laki-laki perkataannya jauh lebih tajam dari ghibahan tetangga. Lebih pedas dari perkataan ibu-ibu komplek. Dan lebih berani dari mental emak-emak. Datang menghampiri keduanya.
"Aduh, kenapa wahai bidadari-bidadari abang yang cantik?" Senja dan Vera langsung menjaga jarak dari Ogi, takut terkontaminasi.
"Najis...!" Ucap keduanya kompak.
"Loh-loh, gak boleh gitu lah sama calon suami."
Vera yang selalu risih dengan kehadiran Ogi akhirnya kini mulai bertindak. "Ogi ganteng?" Senja langsung melotot mendengar ucapan Vera barusan.
"Vera, lo udah mulai gila ya?" Bisik Senja. Vera pun hanya membalas dengan tersenyum, mencoba meyakinkan Senja kalau semua akan baik baik saja di tangannya.
"Iya bidadari ku? Kakanda tahu kalau adinda rindu." Ogi sedikit memajukan wajahnya mendekat ke wajah Vera.
Senja yang mendengar percakapan Vera dan Ogi di buat geleng geleng. "Kakanda? Anak konda kali! Hhaa..." Kini satu kelas di buat tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan Senja.
"Settt..." Ogi mengisyaratkan agar semua untuk diam. "Mana ada anak konda setampan gue?"
Ogi beralih menatap Senja, "Permaysuri ku yang satu ini memang suka melawak, ih. Jadi gemes pangeran."
"Anjir, pangeran? Pangeran kodok tuh." Kini ganti Nino, sang ketua kelas yang bicara. Dan itu sukses membuat semua yang ada di kelas kembali tertawa. Tak terkecuali dengan Senja.
"Aduh manisnya..." Ucap Ogi. Seketika itu juga Senja menghentikan tawanya. Kembali memasang muka masam kepada Ogi. "Enggak pa-pa deh gue jadi badut, apa sih yang enggak buat permaisyuri gue?"
Senja melirik Vera yang dibalas dengan tatapan penuh tanya juga. "Najis mugholadoh!" Semprot Senja.
Kembali ke rencana awal, Vera kemudian melancarkan aksinya pada Ogi. Dengan semangat empat lima, dan dengan dukungan dari Senja juga pastinya.
Vera mendekati yogi sedang duduk di kursi depan mereka dan merangkul bahunya. "Ogi..." Panggil Vera halus. Mungkin suaranya akan lebih halus jika disandingkan dengan kuntilanak yang sedang adu tertawa.
"Yes honey? What happen?" Ujar Ogi.
Tina, yang duduk berseberangan dengan Ogi kini angkat bicara. "Kagak usah sok inggris lo Ogi, kagak pantes. Makan lo aja masih nasi sisa dua hari lalu yang ada keseleo itu lidah kasihan. Nanti siapa yang urut? Tukang urut pun males ngurut lidah lo, yang ada rabies nanti."
Ogi pun dibuat mendelik dangan ucapan Tina barusan yang panjangnya melebihi panjang rel kereta api. Atau mungkin bisa do bilang jauh lebih panjang dari sebuah harapan. "Buset, licin amat itu mulut Tin."
"Tin pala lo, dikira gue klakson mobil apa." Entah sudah ke berapa kali satu kelas di buat tertawa oleh tingkah Ogi. Termasuk juga dengan Senja, Vera, juga kawan kawannya.
Ogi pun masih tertawa, "Boleh lah itu buat panggilan lo sekarang. Secara kan mulut lo itu kalau ngomong gak ada rem nya, trobos aja bosss..."
Vera yang saat ini ada di anatara keduanya merasakan lengang yang sangat amat terasa di dalam gendang telinganya. Sedangkan Senja hanya menonton dengan santai sambil bersedekap dada. Menyaksikan pertunjukan lawak yang amat spektakuler menurutnya. Untuk apa jauh jauh menonton teater, lebih baik menonton teater gratis seperti ini. Irit biaya dan sudah dijamin pasti puas.
"Wahai manusia laknat, tidak bisakah kalian diam? Saya hendak berbicara sebentar. Harap dengarkan, oke?" Kata Vera begitu lantang. Namun sangat di sayangkan tidak ada seorang pun yang mau untuk diam dan mendengarkannya.
"Dasar tidak ada akhlak kalian semua." Gerutu Vera.
"Sudah sudah, sekarang kamu bilang, mau apa bidadari ku ini?" Vera masih dengan senyum paksa dan di buat buat.
"Bang Ogi, mau kah kamu memenuhi permintaanku ini untuk terakhir kalinya?" Pinta Vera.
Ogi pun mengangguk antusias, "tentu saja, apa pun itu."
Vera yang mendengar persetujuan Ogi pun merasa senang. "Kan suara bang Ogi bagus tuh, mau enggak nyanyi buat Vera?" Kembali Vera mengeluarkan jurus rayuannya.
"Tentu, apa pun buat kamu okey," Ogi memberikan sebuah kedipan genit kepada Vera. "Oke guys! Sesuai dengan permintaan bidadari ku, gue bakal nyanyi buat kalian semua! Kita konser sekarang!"
Dan akhirnya konser pun di mulai. Sementara Ogi dan yang lainnya bernyanyi tak karuan dari ada yang buat nada sampai lupa dan salah lirik. Senja dan Vera hanya menonton dari tempat duduk mereka sambil tertawa.
Tak lama berselang seketika semua murid kembali duduk dan diam. Namun tidak dengan Ogi yang masih asik bernyanyi. Bahkan sepertinya dia tak sadar kalau sudah berada di atas meja guru.
"Lah, kok diem? Gak asik kalian mah."
Sang ketua kelas sudah berkali kali mencoba memberikan kode kepada Ogi dengan mengedipkan sebelah matanya. Namun Ogi yang kelewat tidak peka tak paham dengan maksud dari kode yang di berikan.
"Lo kenapa dah? Kelilipan atau gimana? Atau lo mau goda gue ya? Udah gila lo." Ucap Ogi.
"Kamu itu yang gila!" Suara besar dan berat itu menggelegar memenuhi ruang kelas. "Berani kamu naik meja guru!"
Ogi pun langsung melompat turun. Dia dibuat mati kutu dengan kehadiran pak Romi. Salah satu guru killer dan di takuti di sini. "Eh, bapak. "
"Keluar dari kelas saya dan kamu saya hukum lari dua puluh kali putari lapangan depan!"
Ogi pun di buat melotot dengan hukumannya. "Sepuluh kali aja ya pak, nanti kalau kaki saya rontok gimana?"
"Kamu kira ini pasar apa, pake segala nawar dulu. Lari sekarang atau kamu berurusan dengan guru BK!"
Secepat kilat Ogi melesat keluar dari kelas. Takut jika harus berurusan dengan guru BK yang pasti nanti orang tua nya akan terbawa bawa juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
GEMA SENJA
Teen FictionAda rasa yang hanya jadi wacana. Ada pula cinta yang hanya jadi rencana. Ada rasa yang kalah dengan rupa. Ada pula insan yang hanya terpendam dalam aksara. Bukan takdir, kamu, atau aku. Namun semua tentang waktu. Lama dirasa yang membalas malah luka.